Oleh : Gusty Masan Raya, S.Fil
Papua, negeri nan kaya, elok dan permai. Orang menjulukinya sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Barisan bukitnya mengandung emas dan tembaga. Tanah dan hutan yang luas nan subur. Laut dan danau yang indah memukau mata. Dipadu dengan budaya dari 200 lebih sukunya yang unik, membuat siapapun yang berkunjung ke tanah ini tak henti mengagumi Papua. Tetapi siapa sangka, di tengah kekayaan dan keindahan alamnya, sebagian dari masyarakat asli Papua, si hitam kulit keriting rambut, yang menghuni provinsi paling timur ini, masih didera oleh belenggu penyakit dan kematian.
Sebagian dari mereka yang sakit, berada di balik gunung dan lembah ngarai, terpojok di pelosok tanah pesisir dan pulau-pulau terluar. Patut diakui, salah satu problem mendasar pembangunan di Papua, termasuk di bidang kesehatan adalah kondisi geografis Papua yang menantang. Dengan luas hampir tiga kali pulau Jawa, akses antar kabupaten, kota, distrik bahkan kampung, menjadi sebuah masalah besar. Ketika kontur wilayah berbukit dan bergunung-gunung membuat akses jalan raya sangat sulit, dan jarak tempuh antar kabupaten, terutama di wilayah pegunungan Tengah Papua, harus menggunakan transportasi udara. Kondisi ini tentu saja, membuat sebagian penduduk di tanah ini, masih terpencil dan susah dijangkau dalam pelayanan publik, termasuk pelayanan kesehatan.
Faktor akses antardaerah ini diperparah oleh jumlah tenaga sumber daya manusia kesehatan, yang belum memenuhi rasio. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi per Juni 2017 menunjukkan, saat ini hanya terdapat 16.545 SDM Kesehatan di Provinsi Papua yang sedang bekerja di 513 Unit Pelayanan Kesehatan. Padahal, dengan faskes yang ada, semestinya tersedia 40 ribu lebih tenaga kesehatan di Papua saat ini. Inilah fakta yang berakibat pada tidak meratanya pelayanan kesehatan ke seluruh pelosok Papua. Sebab, untuk melayani faskes yang ada pun, Papua masih sangat kekurangan tenaga medis. Maka, tak dapat dipungkiri, sejumlah Puskesmas dan Pustu di daerah-daerah terpencil, sepi pengunjung, bahkan tertutup pintunya karena tiadanya tenaga kesehatan.
Sungguh miris! Apalagi hampir lima tahun ini, Pemerintah Pusat belum juga membuka kembali formasi pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil, termasuk rekrutmen bagi tenaga kesehatan. Sementara ribuan lulusan pendidikan kesehatan, baik di Papua maupun luar Papua, setiap tahun bergerak masuk ke Papua mencari pekerjaan di rumah sakit, puskesmas dan klinik swasta.
Kenyataan ini membuat Dinas Kesehatan Provinsi Papua di bawah kepemimpinan drg. Aloysius Giyai, M.Kes, sejak tahun 2015, melakukan sebuah inovasi program bertajuk Satuan Tugas Kaki Telanjang dan Terapung atau dikenal dengan Satgas Kijang. Dinas kesehatan selama tiga tahun beruturut-turut, merekrut sejumlah tenaga kesehatan di antaranya dokter, perawat, bidan, apoteker, ahli gizi dan kesling untuk ditempatkan di Puskesmas yang selama ini sulit dijangkau akses pelayanan kesehatannya alias terisolir. Pada tahun, 2015 terdapat 96 orang Satgas Kijang ditempatkan di 12 Puskesmas di 9 kabupaten. Tahun 2016, jumlahnya naik menjadi 162 orang untuk 26 Puskesmas di 18 kabupaten. Sedangkan tahun 2017, diturunkan 120 anggota satgas untuk 20 Puskesmas di 10 kabupaten.
Berkat program ini, ditunjang dengan program terobosan bidang kesehatan lainnya seperti Kartu Papua Sehat dan 1.000 Hari Pertama Kehidupan yang termaktub dalam Program Gerbang Mas Hasrat Papua, kemajuan membanggakan di bidang kesehatan bisa tercapai. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Papua, terjadi penurunan angka kematian ibu di Provinsi Papua dari 575/100.000 KH (Kelahiran Hidup) di tahun 2013 menjadi 380/100.000 KH pada 2016. Sementara penurunan angka kematian bayi dari 54/1.000 KH pada 2012 menjadi 13/1.000 KH pada 2016. Artinya, sektor kesehatan di Papua di bawah kepemimpinan Gubernur Lukas Enembe, SIP.MH dan Wakil Gubernur Klemen Tinal, SE.MM, mengalami kemajuan yang pesat.
Kendati demikian, Dinas Kesehatan Provinsi Papua menyadari, persoalan pemerataan pelayanan kesehatan di tengah minimnya tenaga kesehatan di Papua, belum terjawab. Dana untuk rekrutmen tenaga Satgas Kijang terbatas. Sementara di era Gubernur Lukas Enembe, sebesar 80 persen Dana Otonomi Khusus disalurkan untuk pembangunan di 29 kabupaten/kota. Kepala Dinas Kesehatan Papua, tak habis akal. Mengikuti Satgas Kijang dan Terapung sebagai pilot project dari lembaga yang dipimpinnya, Aloysius pun mengambil kebijakan terobosan untuk mewajibkan setiap kabupaten/kota mulai tahun 2018, harus membentuk tenaga kesehatan bergerak, guna menjangkau pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang terisolir.
Dalam Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Rakerkesda) Provinsi Papua yang berlangsung pada 2 Juni 2017 di Jayapura, Dinas Kesehatan Papua pun sudah melakukan penandatangangan komitmen bersama dengan 29 kepala dinas kabupaten/kota di Provinsi Papua, agar mulai tahun 2008 harus merekrut tenaga kesehatan bergerak di kabupatennya masing-masing. Tujuannya tidak lain, agar tim tenaga kesehatan bergerak ini dapat bekerja melayani masyarakat di kampung atau distrik yang terisolir, terjauh dan terluar, yang selama ini tak pernah mendapat pelayanan kesehatan.
Kebijakan terobosan seperti ini tentu saja mendapat respon positif dari sejumlah masyarakat. Sebelumnya, melalui Unit Percepatan Pembangunan Kesehatan Papua, pada awal Mei 2017, sejumlah kepala daerah dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota pun telah memberikan pernyataan komitmen baik secara lisan dan tertulis untuk siap merekrut tenaga kesehatan bergerak mulai tahun depan.
Bahkan Gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP.MH Sendiri pun merespon baik terobosan yang dilakukan oleh Aloysius, memanfaatkan 80 persen dana Otsus yang dikirimnya ke kabupaten/kota, agar 15 persen benar-benar disisihkan bagi pembangunan bidang kesehatan, demi menyelamatkan manusia Papua. Tak tanggung-tanggung, Gubernur Lukas pun mewarning akan memotong anggaran Otsus jika ada kabupaten yang tidak menjalankan komitmen yang sudah ditandatangi bersama itu.
So, Tunggu apalagi? Mari seluruh rakyat Papua, kita dukung dan kawal kebijakan terobosan yang dilakukan Lukas dan Aloysius ini, demi menyelamatkan orang asli Papua. Kalau bukan hari ini, kapan lagi, kalau bukan kita, siapa lagi. Jika tidak, bukan tidak mungkin, si ras hitam kulit keriting rambut suatu saat, tinggal kenangan.
*Penulis Adalah Kepala Bidang Publikasi dan Dokumentasi pada Unit Percepatan Pembangunan Kesehatan Papua (UP2KP)