JAYAPURA (PB) : Sekretaris Daerah (Sekda Papua) Hery Dosinaen mengungkapkan, pihaknya mengusulkan, sebaiknya digelar Pilkada secara tak langsung di DPR Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih pemimpin daerah setempat.
“Ini yang harus dikaji secara komprehensif dengan semua pihak, sehingga kenapa tak kita harus kembali ke UU Otsus bahwa Pemilukada dipilih secara tak langsung oleh DPRD dan DPRP. Ini yang harus diperhatikan,” tegas Sekda ketika menyampaikan arahan pada pelaksanaan Apel Gabungan di Halaman Kantor Gubernur Papua, Jayapura, Senin (3/7).
Ia menyampaikan hal ini terkait peristiwa perang suku yang kembali meletus di wilayah Kabupaten Puncak Jaya, usai Pemilihan Suara Ulang (PSU) setempat.
Sekda mengatakan Pilkada langsung kini, ternyata ada perubahan paradigma, khususnya masyarakat di pedalaman yang budaya politiknya masih parsial.
“Dulu dalam tatanan adat, orang perang karena berzinah. Sekarang modus beda perang karena Pilkada. Ini sudah jadi ajang untuk potensi terjadi konflik sangat tinggi. Masyarakat menganggap sudah tak bisa dibedakan antar saudara dengan yang lain. Ketika seorang sudah masuk atau memihak ke salah- satu kandidat. Maka antar saudara juga bisa terjadi saling perang dan ini terjadi,” ungkap Sekda.
Menurut Sekda, dirinya pernah selama puluhan tahun bertugas di daerah pedalaman Papua, khususnya di wilayah Kabupaten Puncak dan Puncak Jaya bahwa konsekuensi logis dari eksperimen politik Pilkada langsung bagi masyarakat yang sangat parokial. Hal hal itu perlu dihindari, karena membawa korban jiwa.
“Dengan budaya politik parokial dengan kearifan lokal yang notabene melekat pada kepemimpinan formal dan informal. Maka cost politic atau anggaran politik menjadi tinggi,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, kandidat yang tentunya mempersiapkan biaya politik sangat tinggi. Dan juga pembiayaan yang harus disiapkan pemerintah daerah. Baik Kabupaten maupun Provinsi juga sangat tinggi.
Menurutnya, dengan adanya Pilkada secara langsung merupakan wadah atau ajang untuk perang sangat luar biasa. Karena potensi gesekan tinggi sekali. Sebab masyarakat sedikit disulut atau digoyang. Maka bisa langsung terjadi konflik.
Dia menjelaskan, saat ini ada tiga budaya politik. Yakni pertama subjektif dimana orang yang tahu politik, tapi tak ikut terlibat dalam politik.
Kedua budaya partisipan yakni orang yang tahu politik dan ikut terlibat dalam politik.
Sedangkan budaya parokial yakni orang yang sama sekali tak tau politik. Tapi ikut terlibat dalam politik.
“Ini sangat melekat pada kearifan lokal kita. Kenapa di pedalaman harus sistem Noken. Itu karena budaya politik parokial yang lebih dominan,”jelasnya.
Budaya politik parokial dari aspek pendidikan, sosial budaya. Dari aspek geografis sangat menentukan sistem Noken harus dilakukan.
“Rata – rata ini terjadi hampir seluruh daerah di Papua secara keseluruhan. Belum lagi ada elit tertentu yang mempressure semua proses, sehingga membawa potensi yang memicu gesekan,” pungkas Sekda. (Marcel/PB)