Kepala Dinas Kesehatan Papua drg. Aloysius Giyai, M.Kes

JAYAPURA (PB): Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua drg. Aloysius Giyai, M.Kes menegaskan program Kartu Papua Sehat (KPS) yang dijalankan sejak 2014 sangat membantu pelayanan kesehatan bagi orang asli Papua yang tidak mampu. Program yang merupakan bukti keberpihakan Gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP.MH untuk menyelamatkan orang asli Papua sesuai amanat Otonomi Khusus (Otsus) ini justru menopang atau mem-back up program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari Pemerintah Pusat yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), bukan tumpah tindih satu sama lain.

Ha ini disampaikan Aloysius Giyai kepada sejumlah wartawan di Kantor Dinkes Papua Kotaraja, Jumat (07/07/2017) menanggapi pernyataan Wakil Ketua Komisi V DPR Papua Nioluen Kotouki di salah satu media harian edisi Jumat, 7 Juli 2017. Dalam pemberitaan itu, Kotouki meminta Pemerintah Provinsi Papua menghentikan program KPS karena dinilai tidak berguna dan tumpang tindih dengan layanan BPJS.

drg Aloysius Giyai, M.Kes saat mendampingi Gubernur Papua Lukas Enembe, SIP.MH pada sebuah kesempatan.

“Sebagai anggota Dewan yang terhormat, apa yang beliau (Nioluen Kotouki–Red) sampaikan itu benar. Karena dia berbicara sesuai tupoksi-nya yang membidangi masalah kesehatan. Hanya saja perlu diluruskan bahwa antara KPS dan BPJS bukan tumpang tindih, tetapi dianggap duplikasi pembiayaan kesehatan bagi masyarakat miskin itu seakan-akan punya dua sumber, satu nasional dan satu lokal. Tetapi ingat, dalam Undang-Undang Jaminan Kesehatan Nasional, ada pasal dan ayat khusus yang  mengatur bahwa karena pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional  pakai sistem paket, maka apabila ada paket pembiayaan yang tidak dibiayai oleh BPJS, pemerintah daerah wajib hukumnya membiayai paket itu. Apalagi ada Perdasus tentang bidang kesehatan yang mengatur pembiayaan kesehatan menggunakan Dana Otonomi Khusus. Jadi gubernur tidak salah luncurkan KPS, justru beliau jalankan amanat UU Otsus dan harus didukung,” kata Aloysius.

Menurut Aloysius, Dinas Kesehatan Provinsi Papua pada prinsipnya memahami dan mendukung pernyataan Kotouki untuk menghilangkan KPS dan memaksimalkan pelayanan BPJS. Sebab sesuai amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan, paling lambat tahun 2019, semua jaminan kesehatan daerah harus berintegrasi ke Jaminan Kesehatan Nasional. Hanya, saja kendala utama yang dihadapi di Provinsi Papua adalah syarat kepesertaan BPJS yang wajib menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

“Di Papua ini, dari total penduduk yang ada, hanya 30 persen yang punya NIK. 70 persen tidak punya NIK. Masalah NIK ini kami sudah bahas bersama Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, dan BPJS Divisi Regional VII Papua dan Papua Barat. Kami Dinas Kesehatan prinsipnya saling koordinasi, menunggu data dari sana. Bukan tupoksi kami urus data. Validasi data ini sangat penting karena terkait alokasi jumlah dana untuk membayar premi peserta KPS-JKN dari Pemerintah Provinsi ke BPJS setiap tahun. Namun perlu diketahui juga bahwa salah satu kelemahan BPJS yaitu bersifat gotong royong dimana dana premi yang sudah diserahkan ke BPJS untuk satu tahun tak akan dikembalikan jika penyerapannya tidak sampai seratus persen. Dana itu akan terpakai menutupi pembiyaan provinsi lain yang jeblok,” urai mantan Direktur RSUD Abepura ini.

Contoh Kartu Papua Sehat milik salah satu peserta di Biak.

Oleh karena itu, sekali lagi Aloysius menyayangkan pernyataan Kotouki yang menilai program KPS tumpang tindih dengan Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan oleh BPJS. “Tumpang tindih dari mana? Sementara BPJS hanya meng-cover 30 persen orang asli Papua yang memiliki NIK. Lalu 70 persen rakyat Papua yang di balik gunung, lembah, di pesisir dan kepulauan terpencil yang tidak punya NIK kita ambil biaya darimana? Justru selama ini mereka ini yang menerima pelayanan  KPS. KPS membiayai, mem-back up pembiayaan yang tidak ditanggung BPJS,” tegas Aloysius.

Sebagai solusi terkait NIK yang cukup pelik ini, kata Aloysius, Dinkes Papua memiliki strategi untuk mendorong  semua Kabupaten/Kota di Provinsi Papua secara satu persatu mulai berintegrasi dengan  Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan BPJS hingga 2019. “Sudah ada kabupaten yang berintegrasi dengan JKN yakni Mimika dengan 62.000 peserta. Tahun depan Lanny Jaya dan beberapa kabupaten lainnya menyusul,” katanya.

 

Direktur UP2KP Agustinus Raprap saat berdialog dengan pasien pengguna KPS di Ruang Bedah Pria I RSUD Jayapura, Selasa, 27 September 2016.

KPS Sangat Bermanfaat

Sementara itu, menanggai pernyataan Nioluen Kotouki yang menilai KPS tidak bermanfaat banyak bagi orang asli Papua, Aloysius mengatakan sungguh heran. Menurut Aloysius,  sebuah pernyataan ke publik, sikap kritis dan masukan konstruktif dari anggota DPR Papua yang membidang kesehatan sangat dibutuhkan pemerintah, termasuk Dinas Kesehatan Papua, asalkan berdasarkan data dan kajian yang komprehensif.

“Kalau bilang KPS tidak bermanfaat, sebaiknya bicara berdasarkan data dari seluruh rumah sakit. Anggota dewan bisa minta data pembanding pasien yang dibiayai KPS dan BPJS berapa di seluruh rumah sakit. Jangan hanya satu kejadian malah langsung ambil kesimpulan untuk seluruh layanan program KPS tidak bermanfaat. Data tahun 2015 sesuai hasil verifikasi kami di Dinkes, ada 1,2 juta pengguna manfaat KPS di seluruh Papua, tahun 2016 naik 1,3 juta,” kata Aloysius.

Piere Sahetapy, Tim Monev KPS wilayah Ha Anim saat berdialog dengan pengelola loket KPS di RSUD Merauke.

Berdasarkan Keputusan Kepala Dinas  Kesehatan Provinsi Papua Nomor 440/5051/2014 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kartu Papua Sehat dijabarkan bahwa KPS digunakan sebagai “back up” pada komponen pembiayaan yang tidak ditanggung dalam Jaminan Kesehatan Nasional. Peserta program ini adalah orang asli Papua tidak mampu dan warga non Papua yang memenuhi syarat.

Dana KPS bersumber dari APBD Provinsi Papua yang diperuntukkan bagi penyediaan obat-obatan, alat/bahan habis pakai, makanan pasien, biaya administrasi, dan biaya operasional yang meliputi transport lokal, pengadaan peti jenazah, pembayaran premi Kelas III Jaminan Kesehatan Nasional, jasa/insentif pelayanan, dan penyediaan alat kedokteran minimal untuk lima rumah sakit di wilayah regional.

“Dan satu lagi ini, banyak yang belum paham.  Puskesmas tidak melayani KPS. KPS itu hanya berlaku di pelayanan tingkat rujukan meliputi tiga RSUD milik Provinsi Papua, seluruh RSUD Kabupaten, empat rumah sakit mitra di Kota Jayapura, beberapa klinik keagamaan, dan membiayai transportasi pasien dari pedalaman bekerjasama dengan empat maskapai penerbangan. Dana KPS bukan kami yang simpan di Dinas Kesehatan, tetapi oleh Badan Keuangan dan Asset Daerah Provinsi Papua, dan mereka langsung transfer ke Badan Keuangan Kabupaten dan rumah sakit daerah dan mitra,” tutup Aloysius.

Kepala Dinas Kesehatan Aloysius Giyai bersama Tim UP2KP usai memberi keterangan pers, Jumat (07/07/2017)

Untuk diketahui, Program KPS ini dimulai tahun 2014 dengan total anggaran sebesar Rp 250 milyar. Sementara sepanjang than anggaran 2015-2017, besaran alokasi dana KPS masing-masing Rp 300 milyar. (Gusty Masan Raya)

 

Facebook Comments Box