Oleh Dr. Velix Wanggai*
Dua hari sebelum HUT Kemerdekaan RI, tepatnya 15 Agustus 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) meluncurkan laporan Indeks Kebahagiaan Provinsi Papua tahun 2017. Ternyata dalam 3 tahun terakhir, kebahagiaan rakyat Papua meningkat, dari semula 60,97 di tahun 2014 meningkat menjadi 67,52 di tahun 2017 yang diukur pada skala 0-100. Indeks ini mengukur kepuasan hidup, perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia).
Sebelumnya, pada pertengahan Juli 2017, BPS juga mengeluarkan laporan soal tingkat kemiskinan di Papua. Dari laporan BPS terlihat adanya pengurangan angka kemiskinan dalam 3 tahun terakhir ini. Angka kemiskinan menurun dari 31,13 persen di Maret 2013 menjadi 27,62 persen pada Maret 2017. Demikian pula, adanya kenaikan kesejahteraan rakyat Papua sejak 2013-2017. Dalam laporan BPS pada 2 Mei 2017, digambarkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua membaik dari 56,25 di tahun 2013 meningkat menuju baik menjadi 58,05 di tahun 2016.
Di Indonesia, IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam membangun kualitas hidup manusia, dalam hal penduduk Papua. IPM ini dibentuk oleh tiga dimensi dasar, yakni umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup yang layak (decent standar of living). Meningkatnya IPM penduduk Papua di era kepemimpinan Lukas Enembe-Klemen Tinal ini, terlihat dari dimensi harapan hidup rakyat Papua yang membaik ke 65,12 (2016) dari sebelumnya 64,84 (2014), Rata-Rata Lama Sekolah/RLS dari 5,76 (2014) menjadi baik 6,15 (2016), Harapan Lama Sekolah/HLS dari 9,94 di tahun 2014 meningkat ke 10,23 di tahun 2016.
Bagaimana kita membaca hasil pembangunan dalam 4 tahun terakhir ini, sejak awal 2013 hingga pertengahan 2017 ini? Adakah strategi khusus yang ditempuh Negara (pemerintah dan pemerintah daerah) dalam menyelesaikan akar persoalan yang dialami oleh rakyat Papua? Sejauhmana prospek dari strategi yang ditempuh ini?
Mendekatkan Anggaran Pembangunan ke Akar Rumput
Pertama, kita menyadari bahwa apa yang dicapai saat ini tak terlepas dari pelbagai sentuhan yang dilakukan oleh kedua pemimpin Papua, Gubernur Lukas Enembe dan Wagub Klemen Tinal. Komitmen pemerintah daerah semakin terdorong oleh sebuah kerja kolektif antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua, Lembaga Legislatif, MRP, Pemerintah Kabupaten/Kota se-Papua, Dunia Usaha dan pelaku pembangunan lainnya.
Kerja kolektif itu tercermin dari berbagai sentuhan pendekatan, kebijakan, program dan kegiatan yang bermuara dalam mengurangi kemiskinan di Tanah Papua. Apalagi dalam konteks Papua, peran penting dari pemerintah dalam kerangka kebijakan fiskal sebagai ‘goverment investment’ masih sangat vital dalam menggerakan ekonomi daerah di seluruh Papua, sebagaimana mengacu pendekatan the role of state in economic development di kawasan yang masing tertinggal, underdeveloped regions. Artinya, peran negara masih penting diterapkan dalam konteks ekonomi daerah pinggiran dengan berbagai instrumen kebijakan. Bagi Papua, masih sulit untuk mengharapkan peran pasar (dunia usaha) dalam menggerakkan ekonomi daerah atau memainkan peran-peran sosial dalam pelayanan kemasyarakatan.
Kedua, dari perspektif ekonomi, membaca peran Pemerintah baik Pusat dan Daerah, hal itu tergambarkan dari peran alokasi, peran distribusi dan peran stabilisasi dalam struktur ekonomi, terutama dalam kerangka anggaran pembangunan. Ketiga peran itu yang dijalankan oleh pemerintah dalam mengatasi kemiskinan, ketertinggalan, keterisolasian dan bahkan soal ketidakadilan.
Apa peran alokatif yang dilakukan oleh Gubernur Lukas Enembe – Wakil Gubernur Klemen Tinal? Potret penting tertuju dari sejumlah terobosan regulasi terkait dengan “Formula 80 : 20 Dana Otsus”. Kerangka fiskal baru ini tertuang dalam Perdasus No. 25 Tahun 2013 tentang Pembagian, Penerimaan, Pengelolaan Keuangan Dana Otonomi Khusus. Formula baru merupakan strategi penataan desentralisasi fiskal dalam payung dana otonomi khusus, baik dana otsus 2 persen dari DAU Nasional maupun dana infrastruktur. Kurang lebih 15 tahun ini (2002-2016), Papua telah menerima dana Otsus sekitar Rp 59,51 Triliun, dimana terbagi daa Otsus Rp 47,9 Triliun yang bersumber dari dana 2 persen dari DAU Nasional dan dana Infrastruktur Tambahan dalam rangka Otsus sekitar Rp 11,2 Triliun.
Perubahan alokasi dalam formula 80 : 20, dilihat sebagai upaya strategi desentralisasi fiskal ke satuan pemerintahan yang lebih rendah di Papua. Demikian pula, filosofi untuk mendekatkan pelayanan pembangunan ke rakyat yang paling bawah, atau bringing the state closer to the people. Dalam perjalanan sejak 2013, dilakukan sejumlah penataan untuk meningkatkan efektifitas dari skenario desentralisasi fiskal di akar rumput. Penataan ini tercermin dari lahirnya Perdasus No. 13 Tahun 2016 tentang perubahan atas Perdasus No. 25/2013 tentang Pembagian, Penerimaan, Pengelolaan Keuangan Dana Otonomi Khusus.
Sentuhan Khusus “Health for All” di Papua
Ketiga, selain mengubah kebijakan fiskal ini, peran alokatif lainnya tercermin dari upaya Gubernur Papua Lukas Enembe mendorong akses rakyat untuk kesehatan, atau “Health for All” bagi rakyat Papua. Hal ini menjadi terobosan kebijakan untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM) Papua dengan konteks tipologi wilayah yang beragam, baik di wilayah pegunungan, pedalaman, pantai dan kepulauan, kaki bukit dan lembah-lembah, sungai-sungai hingga perbatasan RI – PNG. Akibatnya, tipologi yang berbeda ini mempengaruhi bagaimana pola pendekatan pelayanan kesehatan. Bahkan, perhatian komunitas internasional juga menyoroti soal kesehatan yang dialami penduduk Papua saat ini.
Untuk memenuhi komitmen “Health for All” bagi penduduk Papua, terobosan penting terlihat dalam 3 bulan awal kepemimpinannya, Gubernur Enembe menata pola koordinasi kebijakan kesehatan dengan membentuk Unit Percepatan Pembangunan Kesehatan Papua (UP2KP). Sebuah lembaga non-struktural dalam lingkup Pemerintah Provinsi Papua guna mempercepat visi-misi Gubernur Papua. UP2KP ini lahir pada 25 Juli 2013 dengan payung Peraturan Gubernur No. 16 Tahun 2013, yang awalnya dikomandani oleh drg. Aloysius Giyai, M.Kes.
Dalam filosofi yang lebih dalam, kehadiran lembaga ini sebenarnya mencerminkan komitmen yang tinggi dari Gubernur Lukas Enembe dan Wagub Klemen Tinal dalam mencegah kekhawatiran Orang Asli Papua (OAP) punah di atas tanahnya sendiri. Untuk menghilangkan kepunahan OAP, sudah saatnya dibutuhkan intervensi negara untuk melayani OAP di akar rumput yang selama ini kurang dan bahkan tak disentuh dengan akses kesehatan.
Komitmen nyata untuk membuka akses rakyat ke kesehatan terlihat ketika di tahun 2014 lahir beberapa kebijakan Gubernur Papua yang berpijak dengan Perdasus No. 7 Tahun 2010 tentang Pelayanan Kesehatan. Di tahun 2014 Gubernur Papua Lukas Enembe menerbitkan 4 Peraturan Gubernur (Pergub) terkait kesehatan, yakni Pergub Nomor 5 Tahun 2014 tentang Alokasi Dana Otonomi Khusus Kabupaten/Kota di Papua untuk Kesehatan, dan Pergub Nomor 6 Tahun 2014 tentang Jaminan Pembiayaan Kesehatan. Selain itu, diterbitkan pula, Pergub Nomor 7 Tahun 2014 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan dan Pergub Nomor 8 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Otonomi Khusus bidang Kesehatan sebesar 15 persen untuk Kabupaten/Kota di Papua.
Terobosan penting lainnya dengan menerapkan pendekatan sosial yang sesuai dengan konteks lokal yang beragam dan situasi geografis yang sulit dijangkau. Dalam prakteknya, Dinas Kesehatan Papua menguatkan akses rakyat ke kesehatan dengan menerapkan Petugas Kesehatan Bergerak atau “mobile”, dalam bentuk satuan tugas kesehatan Kaki Telanjang (Satgas Kijang), satuan pelayanan (Satpel) terapung dan terbang di daerah pedalaman Papua. Hal ini sebagai komitmen pemerintah untuk menghadirkan pelayanan di titik-titik yang sulit dijangkau dengan infrastruktur. Demikian pula, pentingnya Kartu Papua Sehat (KPS) yang hadir sejak 2014 untuk menjawab amanat UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus, dan juga kebijakan KPS ini mem-back up dan melengkapi Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS.
Tentu saja, masih terdapat sejumlah kebijakan sosial (social policies) strategis lainnya yang dilakukan oleh Gubernur Lukas Enembe-Wagub Klemen Tinal sejak 2013-2017 guna mengangkat kualitas hidup orang asli Papua. Masih banyak pekerjaan rumah yang dihadapi dan membutuhkan kerja kolektif dari pemangku kepentingannya lain di Papua.
Apalagi dengan hadirnya kebijakan baru di tingkat internasional, yakni Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, atau Sustainable Development Goals (SDGs) Tahun 2030, yang menggantikan Millenium Development Goals Tahun 2015. Saat itu, Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono ditunjuk PBB sebagai Co-Chair High Level Panel dalam merumuskan konsep SDGs ini. Dan, di era Presiden Joko Widodo ini, menjadi kewajiban Papua juga untuk mensukses 17 target dari kebijakan SDGs ini, sebagaimana yang ditetapkan oleh Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Akhirnya, kerja bersama untuk “Papua Sehat”, menjadi tanggungjawab bersama dari semua pemangku kepentingan di Papua. Titik awal pembangunan yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia, serta karakteristik sosial-wilayah yang beragam juga membutuhkan langkah berani penuh terobosan untuk membuat negara hadir di akar rumput.
*Penulis adalah pemerhati pembangunan Papua