INI HARI YANG SAYA TUNGGU-TUNGGU. Kamis, 8 November 2018. Film terbaru arahan sutradara Putrama Tuta berjudul A Man Called Ahok resmi ditayang. Kekaguman saya pada sosok Ahok, mungkin juga Anda, membuat keinginan untuk menonton film ini sangat kuat. Seperti yang sudah diduga banyak orang, film yang dibintangi Daniel Mananta ini tentu menceritakan hubungan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan ayahnya, Tjoeng Kim Nam.

AHOK. Siapa yang tak kenal dia? Pria kelahiran Belitung Timur29 Juni 1966, bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama ini, menjadi salah seorang tokoh popular Indonesia saat ini. Ia menjadi idola baru generasi muda dan harapan perubahan demokrasi Indonesia. Ahok terpilih menjadi Wakil Gubernur DKI 2012 dan dua tahun kemudian, tepatnya 19 November 2014, dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Gubernur Jokowi yang terpilih menjadi Presiden RI ke-7.

Ketika genderang Pilkada DKI Jakarta 2017 ditabuh, nama Ahok melambung. Elektabilitas politiknya tak terbendung. Semua lawan politiknya yang ancang-ancang maju, seakan sepakat sibuk menjegal dan menumbangkan Ahok. Sayangnya, mulai dari tokoh hebat sekelas Yusril Ihza Mahendra, Adyaksa Daud, Haji Lulung, Sandiago Uno, Hasnaeni si wanita emas, hingga yang karbitan sekelas Ahmad Dahni, semuanya sibuk mencari simpati rakyat dengan cara yang salah: mencari kesalahan Ahok. Dan menyerangnya dengan dalil yang salah pula: rasis dan agama.

Makin diserang, Ahok malah makin kesohor. Ahok bukan hanya tak takut pada semua lawan politiknya, tetapi pada partai politik yang dulu mendukungnya pun, ia nyatakan “perlawanan” secara elegan dengan memilih jalur independen menggandeng Heru Budihartono. Ahok memilih percaya pada TEMAN AHOK yang bekerja mengumpulkan KTP dalam tenggat waktu tiga bulan dengan capaian luar biasa: sudah sejuta KTP terkumpul.

Pada wajah Ahok dan gayanya yang “menggemaskan,” ada beberapa catatan reflektif yang kita temukan. Pertama, Ahok berani “menampar keras” wajah Megawati dan seluruh pimpinan partai politik di negeri ini karena ia tahu, rakyat cerdas di DKI dan seluruh Indonesia sudah muak pada tabiat parpol yang korup. Tradisi mahar politik di jelang pencalonan dalam Pilkada adalah salah satu sebabnya.

Bagi Ahok, bukan soal berapa jumlah uang yang harus ia keluarkan bagi ongkos politik itu, karena sebagai pengusaha, ia sangat mampu secara finansial. Ahok berani melawan tradisi buruk ini karena ia sadar, tradisi keliru inilah sumber petaka degradasi moral dan integriras seorang kepala daerah di seluruh Indonesia. Ketika seorang gubernur, bupati dan walikota yang terpilih lebih banyak bekerja menyembah kepada partai politik pengusung daripada menjalankan janji politik dan aspirasi rakyat.

Kedua, kepemimpinan adalah soal integritas. Dan integritas berpijak pada kejujuran. Berbicara dan bersikap yang santun, agamis, dan terlihat saleh di hadapan rakyat tidak menjadi jaminan bahwa seorang pemimpin bisa bertindak jujur dalam kerjanya. Ahok mematahkan kemunafikan itu. Mempermalukan sejumlah pemimpin di negeri ini yang berkoar-koar atas nama agama atau membawa-bawa nama Tuhan dari kampanye hingga kunjungan kerjanya, tetapi diam-diam bersekongkol dengan para mafia untuk makan duit rakyat alias korupsi. Lalu mendekam di balik jeruji besi.

Ahok temperamen. Dari mulutnya tak jarang keluar kata-kata kasar. Apa adanya meluapkan geramnya atas segala yang dianggapnya tak beres. Tetapi tidak bagi jiwanya. Ia berani melawan kezaliman lembaga DPR DKI, mempermalukan Haji Lulung dalam kasus UPS, menyeret Daeng Aziz di Kalijodo dan terakhir “memerangkap” M. Sanusi, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta yang tertangkap tangan menerima suap dari Presiden Direktur PT. Agung Podomoro Land (Tbk) Ariesman Widjaja. Suap diduga untuk mempengaruhi pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.

Ketiga,  di mana pun bumi dipijak, ketika langit masih mengibarkan Sang Saka Merah Putih, perbedaan dan kemajemukan adalah sebuah kekayaan, anugerah, dan melodi kehidupan nan indah di Indonesia tercinta. Hitam keriting, putih lurus, orang asli dan pendatang, semua sama di hadapan konstitusi dan Tuhan. Perlunya saling menghargai, menghormati, mengasihi dan saling belajar satu sama lain adalah sebuah keharusan. Kehadiran Ahok adalah lambang harapan demokrasi baru yang lebih berpijak pada nasionalisme di tengah pluralitas. Ketika segelintir orang atas nama agama dan ras menolaknya, Ahok justru semakin kuat berdiri karena banjirnya dukungan.

Keempat, Ahok sosok pemimpin yang berani dan ikhlas mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ketika pernyataannya soal Surat Al-Maidah 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu diedit dan disebarkab Buni Yani hingga melahirkan reaksi keras umat Muslim dan malah dijatuhkan hukuman 2 tahun penjara karena dinyatakan terbukti bersalah melakukan penodaan agama oleh Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan, Ahok tabah menerimanya. Ikhlas mematuhi keputusan hakim. Sekalipun jutaan pendukungnya dan para pengacaranya memintanya naik banding, ia menolak tegas. Dua tahun menjalani hukuman di penjara, Ahok pun malah tegas menolak untuk Bebas Bersyarat yang harusnya bisa dinikmati sejak Agustus 2018. Ahok mengajarkan kita bahwa hukum adalah panglima tertinggi. Siapapun melawan hukum, ia harus berani menerima ganjarannya.

Lalu apa gunanya Ahok bagi Papua? Banyak hal yang bisa kita pelajari dari demokrasi baru yang diletakkan Ahok. Dalam konteks Otonomi Khusus (Otsus) di Papua, tentunya memberi kesempatan kepada putra-putri terbaik Papua di berbagai bidang adalah mutlak. Sebab dimana pun, menghargai hak kesulungan adalah wajib hukumnya. Buka mata, lihatlah fakta! Hampir 90 persen pemimpin di berbagai lembaga di atas Tanah Papua adalah putra-putri terbaik asli Papua. Jika Ahok yang bekerja di tengah resistensi masyarakat Islam yang menolaknya berhasil dalam kinerjanya, tentu saja para pemimpin di Papua yang didukung oleh rakyat seasal dan seiman harus lebih berhasil.

Ahok mengajarkan kepada para pemimpin di Papua bahwa iman dan kata-kata santun agamis haruslah dipisahkan dengan janji-janji politik. Sebab ruang agama dan moral adalah wewenang para pemuka agama, sementara para birokrat dan pemimpin politik bekerja mewujudkan visi dan misi politiknya. Artinya, ketakmampuan mewujudkan janji politik kepada rakyat tak bisa dijawab dengan dalih kata-kata agama sebagai pelarian atau pembelaan diri. Kita percaya, banyak pemimpin kita di Papua bisa seperti Ahok.

Dari balik jeruji, di balik derita dan kesabarannya menunggu selesainya masa hukuman yang tak lama lagi, Ahok tentu tersenyum lebar. Selebar tayangan kisah hidupnya di layar lebar. A man called Ahok: rakyat DKI Jakarta dan seluruh pelosok nusantara yang mendukungnya, mulai menyebutnya lagi hari ini. Dia bangkit lagi. Dia bintang politik yang tetap bersinar di negeri ini. Walau didera politisasi SARA, hingga mendekam di penjara, dia tetap sosok pemimpin yang tiada tara dalam sejarah. (Gusty Masan Raya)

*Tulisan ini diolah dari Rubrik OASE Majalah Papua Bangkit Edisi April 2016

Facebook Comments Box