Dua Pemateri Perempuan yang membahas Strategi Penurunan Angka Kematian Ibu dan Kekerasan Berbasis Gender, dengan moderator dari Perwakilan BKKBN Papua, Slamet Teguh.

JAYAPURA (PB.COM) – Angka kematian ibu di Papua saat ini mulai mengalami penurunan. Hal ini disebabkan antara lain hampir 90% Puskesmas sudah ada di distrik-distrik dan program quick wins yaitu Kartu Papua Sehat (KSP) yang sudah menjangkau hampir seluruh orang asli Papua (OAP).

Hal ini dikemukakan Yenny Rumbiak, SE.M.Sc praktisi dari Pusat Studi Kependudukan Uncen, saat membawakan materi seminar tentang Strategi Penurunan Angka Kematian Ibu Menuju Pencapaian SDGs 2030, Selasa (30/7/2019) di salah satu hotel di Abepura. Seminar ini diprakarsai oleh Perwakilan BKKBN Provinsi Papua, dalam rangka memperingati Hari Kependudukan Dunia.

Yenny menjelaskan, capaian kesehatan ibu secara nasional, untuk angka kematian ibu/100.000 KH, sesuai data tahun 2010 menunjukkan angka kematian ibu 346/100.000 KH (data SP), data tahun 2012 angka kematian ibu 305/100.000 KH (data survey, data sensus), data tahun 2019 angka kematian ibu 306/100.000 KH dan data tahun 2026 angka kematian ibu 183/100.000 KH (target RPJMN).

Untuk data tahun 2019, yang masih dalam tahun berjalan, namun tertera 306/100.000 menurut Yenny adalah target nasional, di mana harus semakin menurun hingga mencapai target jangka menengah di tahun 2026 mendatang.

Sementara capaian kematian ibu (100.000 KH) di Provinsi Papua, (data dari tabloid Jubi) tahun 2007 mencapai angka 64 kasus, tahun 2010 mencapai 587 kasus, 2014 mencapai 359 kasus dan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua tahun 2012 mencapai angka 573 kasus. Ia berharap tahun 2019 ini, bisa menurun sesuai target nasional.

“Penurunan angka kematian ibu (AKI) disebabkan karena, hampir 90% Puskesmas sudah ada di distrik, program quick wins yaitu Kartu Papua Sehat (KSP) yang sudah menjangkau hampir seluruh orang asli Papua (OAP), peningkatan kelas beberapa rumah sakit yang ada, Pergub Nomor 8 Tahun 2014 tentang pemanfaatan 15% dana Otsus bidang kesehatan,” ungkap Yenny.

Sementara penyebab kematian ibu di Papua, jelas Yenny, antara lain kematian ibu hamil karena pendarahan, infeksi, eksklamsia dan lainnya, kematian ibu saat melahirkan karena pendarahan dan lainnya, kematian ibu nifas (pascamelahirkan) karena infeksi (sumber: profil kesehatan Papua tahun 2016).

Ia juga mengatakan, salah satu factor yang jadi indicator kematian ibu adalah menikah di bawah usia 20 tahun, yang trennya di Papua cukup tinggi.

Kekerasan Berbasis Gender

Sementara itu, Koordinator Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI), Dra. Hj Suratminah, M.Si, di sesi selanjutnya, membawakan materi Strategi Menurunkan Kekerasan Berbasis Gender dan Praktik Berbahaya Menuju Pencapaian SDGs 2030.

Di hadapan peserta seminar yang didominasi pemuda-pemudi usia produktif, Suratminah menjelaskan panjang lebar isu kekerasan berbasis gender yang masih terus berlangsung dewasa ini. Gender, jelasnya, adalah suatu pandangan tentang perbedaan peran, fungsi dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil kontruksi sosial dan dapat berubah/diubah sesuai perkembangan jaman.

Sedangkan seks adalah perbedaan organ biologis antara laki-laki dan perempuan, terutama pada bagian-bagian reproduksi.

Dampak ketidakadilan gender, kata Suratminah, terbagi menjadi beberapa bagian. Antara lain, marginalisasi yaitu proses peminggiran, bentuk pengabaian, terjadi pada berbagai bidang kehidupan, dikuatkan oleh budaya birokrasi.

“Stereotype yaitu pelabelan/cap negatif didasarkan pada informasi/anggapan salah namun dilestarikan menjadi kebenaran. Contoh, perempuan pulang malam dianggap negatif, laki-laki bekerja di rumah dianggap suami takut istri,” ucapnya.

Subordinasi, merendahkan posisi satu dengan yang lainnya. Contoh, penempatan perempuan di rumah dan memosisikan laki-laki sebagai penentu kebijakan rumah tangga, memberikan prioritas terhadap anak laki-laki untuk melanjutkan sekolah. Kemudian beban ganda yaitu beban kerja berlebih, dalam masyarakat patriarki, perempuan memiliki 3 peran (produktif, reproduktif dan social).

Yang cukup tinggi adalah kekerasan mencakup kekerasan fisik, psikis dan seksual. Contoh, psikis, ungkapan menyakiti perasaan. Seksual seperti pelecehan, perkosaan dalam keluarga.

Penyebab kekerasan berbasis gender, terangnya lebih lanjut adalah konstruksi social di dalam masyarakat mengenai konsep gender, di mana budaya patriarki yang menganggap posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki.

Perempuan sebagai korban kekerasan yang merasa bahwa apa yang terjadi pada dirinya merupakan takdirnya sebagai perempuan. Ia mencontohkan, banyak ditemukan dalam kasus pelecehan seksual bahwa perempuan dianggap wajar dilecehkan jika tidak berpakaian sesuai dengan “norma” dan standar tertentu dalam masyarakat.

Korban KDRT dari suami yang tidak berani melaporkan atau menggugat cerai karena terikat secara finansial kepada suami dan tidak mempunyai pilihan lain jika suami dijatuhkan hukuman pidana penjara. “Jangan memberikan peluang, tunjukkan sikap tegas bila ada tanda-tanda pelecehan (seperti meminta membuka baju dan lainnya),” tegasnya.

Apa yang harus dilakukan bila dilecehkan secara seksual oleh orang lain? Kata Suratminah, jangan mendiamkan, perlu bercerita kepada orang/pihak lain sejak awal pelecehan terjadi.

Yang masih menjadi hambatan pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender, menurutnya, korban atau keluarga sangat kebingungan mengalami traumatis berulang, tidak tahu harus melapor ke mana dan kepada siapa, bahkan jika pelaku juga merupakan orang terdekat korban. Korban tidak ingin melapor karena khawatir menambah permasalahan keluarga, apalagi jika keluarga dalam kondisi yang juga sudah sulit.

Menyikapi fenomena ini, langkah ke depan untuk percepatan perlindungan hak perempuan, pertama, pastikan setiap K/L provinsi dan kabupaten/kota memiliki landasan hukum sebagai dasar pelaksanaan perlindungan hak perempuan. Upayakan dalam bentuk Perda, agar terlembaga dan dukungan APBD untuk SKPD.

Kedua, pentingnya pembiayaan untuk pelaksanakan kegiatan dalam rangka, pencegahan, pelayanan bagi perempuan korban kekerasan, pemberdayaan bagi perempuan korban kekerasan.

Ketiga, perlu kreatifitas untuk pelaksanaan pencegahan. Antara lain, kampanye antikekerasan, perlu kerjasama lintas instansi sehingga dapat saling memanfaatkan sarana yang dimiliki, misalnya kampanye melalui radio komunitas, mobil unit penerangan (BKKBN) dan lainnya.

“Integrasikan materi antikekerasan ke dalam materi pelajaran di sekolah (mulai dari TK hingga perguruan tinggi), antikekerasan juga harus dilembagakan di kalangan laki-laki terutama bagi suami (karena angka KDRT sekitar 70%),” harapnya.perlu kerjasama dengan pihak swasta terkait dengan pencegahan kekerasan di tempat kerja.

Keempat, pemberian pelayanan bagi perempuan korban kekerasan harus dilakukan secara komprehensif. Layanan mulai dari tahap pengaduan hingga reintegrasi social, pastikan semua korban memperoleh semua layanan yang dibutuhkan. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pelayanan; lembaga yudikatif (kepolisian, pengadilan, kejaksaan), pemerintah pusat dan daerah, dan lembaga-lembaga masyarakat.

Kelima, upaya pemberdayaan bagi perempuan korban kekerasan dapat diintegrasikan dengan program-program pemberdayaan ekonomi yang telah ada di daerah, misalnya PNPM Mandiri, program keluarga harapan (PKH), jamkesmas, KUR dan lainnya.

“Perlindungan hak perempuan bukan dilihat sebagai program, melainkan gerakan yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan dunia usaha,” harap Suratminah mengingatkan.

Kedua materi seminar ini menjadi bahasan hangat dalam sesi diskusi. Dengan moderator dari Perwakilan BKKBN Papua, Slamet Teguh, para penanya yang terbanyak dari pelajar, mahasiswa dan GenRe Papua, ini lebih tertarik pada tema kekerasan berbasis gender dan minuman keras yang menjadi pemicu berbagai kekerasan di Papua. (Frida Adriana)

Facebook Comments Box