JAYAPURA (PB.COM) – Gubernur Papua Lukas Enembe menerima hasil kajian Undang-undang Otonomi Khusus (UU Otsus) dari tim Akademisi Universitas Cenderawasih, Rabu (16/9/2020).
Dalam hasil kajian tersebut, ada tiga komponen yang disusun dalam draft Undang-undang Otsus tersebut yakni Otonomi Khusus, pemekaran dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
“Tadi saya terima tim akademisi dari Uncen dipimpin oleh Pembantu Rektor III Uncen, intinya hasil kajian yang ditugaskan oleh gubernur beberapa bulan lalu,” kata Lukas Enembe usai menerima hasil Draft UU Otsus dari Akademisi Uncen di ruangan kerjanya, Rabu siang.
Menurut Lukas Enembe, pihaknya akan melakukan pembahasan untuk mempelajari hasil kajian tersebut untuk selanjutnya dirumuskan sebelum dilanjutkan ke Pusat.
“Untuk mengetahui isi kajian mereka, kita akan membahas dan mempelajari kemudian kita akan rumuskan dan akan menjadi penting untuk dilanjutkan ke Jakarta,” terangnya.
Lanjutnya, tentunya ada solusi untuk masalah di Papua. Bukan soal merdeka, tetapi harus ada solusi yang terbaik untuk Bumi Cenderawasih.
“Mungkin sebagian besar orang Papua minta merdeka, tetapi harus ada win win solution dari pemerintah pusat yang terbaik untuk Papua, jangan kita minta merdeka terus kita jadi korban,” tandasnya.
Lukas mengatakan, jika sebelumnya pemerintah pusat menerima Otsus Plus yang telah diajukan pemerintah Papua kemungkinan tidak akan ada masalah.
“Saya dorong Otsus Plus namun ditolak pemerintah pusat, jika saja Pemerintah pusat terima itu tidak akan ada masalah,” katanya lagi.
Sementara itu, Prof DR. Melkias Hetaria, Dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih mengaku ada tiga komponen yang disusun dalam draf Undang-undang Otonomi Khusus, yakni Otonomi khusus, pemekaran dan KKR.
“Mengenai pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi sudah diamanatkan dalam Pasal 46 UU Otsus, dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua, maka akan dibentuk tim KKR yang akan dibentuk lewat keputusan presiden atau peraturan presiden melalui usul gubernur Papua,” jelasnya.
Lanjutnya, hal Inilah yang sudah dikaji tim akademisi dan sudah disampaikan. Isi daripada draf itu sendiri berkaitan dengan rekonsiliasi dan penyelesaian pelanggaran HAM Papua lewat komisi kebenaran, yang mana tugasnya untuk mengungkap kebenaran dan menciptakan rekonsiliasi.
“Itu hal yang sangat penting, sebab tidak mungkin ada rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran. Ini yang kami bawa ke gubernur, dan semua tergantung pusat seperti apa nanti kami lihat,” terangnya.
Senada dengan itu, Basirohmana, Dosen Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih mengaku, Revisi Undang-undang Otsus yang dilakukan Jakarta (pusat) hanya terbatas, yang mana berkaitan dengan anggaran (Pasal 34 ayat 3 huruf e), tapi kemungkinan juga dibuka dengan revisi parsial. Artinya, boleh dilakukan perubahan terhadap UU Otsust tapi tidak boleh lebih dari 50 persen.
“Tapi ada keinginan lain seperti yang diungkapkan gubernur, Papua bisa melakukan revisi total (menyeluruh) dengan tetap melihat asas, tujuan dan prinsip-prinsip lain yang ada dalam UU,” ucapnya.
“Jadi sekarang ada tiga bentuk revisi, yakni terbatas, parsial dan menyeluruh,” tambahnya.
Terkait daerah otonomi baru, Akademisi Uncen sudah melakukan kajian yang menjadi naskah daerah (akademik) dengan melakukan pendekatan wilayah adat .
Artinya, ada baiknya kalau pemekaran dilakukan mengikuti zona wilayah adat, sebab Papua ada memiliki lima wilayah adat (Saireri, Animha, Meepago, Lapago, Tabi). Sebab, dalam Pasal 76 UU Otsus mengatakan, pemekaran provinsi harus menperhatikan empat hal, yakni kesatuan sosial budaya masyarakat, kesiapan sumber daya manusia, kesiapan sumber daya ekonomi dan bagaimana pengembangan wilayah ke depan.
“Ini amanat UU Otsus, dan itu yang kami sudah mengkajinya dan mendorong agar bisa dibahas lebih lanjut,” katanya lagi. (Toding)