Sebuah Refleksi Kerja Nyata Jokowi di Antara Tantangan & Harapan Membangun Peradaban Papua

Oleh Laus Deo Calvin Rumayom*)

ADA SYAIR tua di Papua yang terkenal di kalangan masyarakat berbunyi, “Kenangkan Boleh Lupakan Jangan, Selalu di dalam Ingatan.” Syair lagu ini seolah mengingatkan kita bahwa sebentar lagi akan berakhir masa jabatan Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) pada 2024 mendatang.

Jokowi merupakan sosok pribadi yang sangat mencintai masyarakat Papua. Ia mencurahkan segala pikiran dan waktu untuk pembangunan Papua. Tak hanya lewat kebijakan, tetapi juga mengunjungi langsung rakyat Papua dan mencatat diri memecahkan rekor sebagai presiden Indonesia yang paling banyak mengunjungi Bumi Cenderawasih.

Sejak 5 Juni 2023, Presiden Jokowi dan sejumlah menteri Kabinet Kerja Jilid II mengunjungi Papua. Dalam catatan, ini adalah kunjungan ke-17 Jokowi, sejak ia memimpin Indonesia pada 2014 silam. Dan inilah yang membuat hati dan pikiran masyarakat Papua selalu mengenang dan mencintai Presiden Jokowi, dibanding para presiden sebelumnya.

Presiden Jokowi saat disambut warga Kabupaten Asmat di Bandara Ewer, Kamis, 6 Juli 2023.

Kerja nyata Jokowi dalam berbagai sektor telah membawa Papua pada sebuah fase penting sebagai kesiapan menghadapi tantangan global. Kini, Papua telah masuk dalam pusaran geopolitik global yang telah diperhitungkan oleh dunia, dimana Papua sebagai episentrum bumi dengan potensi Sumber Daya Alam (SDA) sebagai pemilik pertambangan emas terbesar di dunia, telah menarik berbagai kepentingan global. Hal ini tentunya akan berdampak bagi penataan dunia baru di abad 21 yang kini dikenal dengan pergeseran peradaban dunia dari barat ke pasifik.

Kini telah hadir AUKUS Vs China di Panggung Indo-Pasifik sebagai kekuatan dunia dan penentu stabilitas ekonomi dan keamanan global. Trilateral AUKUS (Australia, Britania Raya dan Amerika Serikat) tentu sudah memiliki planning untuk menguasai Indo-Pasifik termasuk berbagai investasi ketiga Negara tersebut di Papua dan Papua Nugini. Hal inilah yang mendorong Presiden Jokowi harus mengunjungi Australia dan PNG sebagai Negara tetangga Indonesia untuk melangsungkan pembicaraan kerjasama bilateral awal pekan ini, dan selanjutnya mengunjungi Papua.

Tambang PT Freeport di Mimika, Papua Tengah.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kehadiran AUKUS di Indo-Pasifik tentu menimbulkan kekhawatiran bagi Indonesia. Namun demikian, menurut hemat saya, sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan bahwa apapun perkembangan dan ancaman geopolitik global di kawasan Indo-Pasifik, “Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Papua” adalah kata kunci peredamnya. Mengapa demikian? Karena Papua adalah garda terdepan bangsa Indonesia menghadapi era Pasifik.

Jika Papua masih memimpin dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia di tengah pusaran konflik sosial politik, ekonomi, sumber daya alam dan budaya yang masih belum terselesaikan, maka tantangan terbesar 20 tahun Otsus ke depan ialah keterlibatan asing akan sangat tinggi di Papua sebagai bagian dari manifestasi AUKUS Vs China dalam politik perebutan Sumber Daya Alam di Papua.

Presiden Jokowi menyapa anak-anak SD di Asmat.

Fondasi pembangunan Papua sebenarnya berdasarkan pada karya-karya yang diletakkan oleh para misionaris Kristen di tanah ini. Ada filosofi pembangunan Papua yang sering didengungkan sebagai bentuk keberpihakan dalam setiap program pembangunan yaitu: “Membangun Papua mulai dari kacamata Papua” ibarat: apa yang dia lihat kita lihat, apa yang dia makan kita makan, apa yang dia rasa kita rasa.” Mengapa? Sebab Papua memiliki keunikan, kekhasan dan tantangan alam yang berbeda di bandingkan daerah lain di Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah juga mesti kembali kepada landasan pembangunan peradaban orang Papua yang telah dimulai sejak kedatangan Misionaris Carl Willhelm Ottow dan Johan Gottlob Geissler. Dua misionaris berkebangsaan Jerman ini tiba di Pulau Mansinam 5 Februari 1855 (1855-2023). Kisah sejarah iman 168 tahun yang lalu ini, menjadi tonggak awal peradaban Papua yang dibangun diatas Doa Sulung “Dengan Nama Tuhan Kami Menginjak Tanah Ini”.

Dalam perjalanan misi pekabaran Injil selanjutnya, diteruskan oleh Dominee Izaak Samuel Kijne yang tiba di Mansinam pada 23 Juni 1923, lalu membuka sekolah peradaban Papua dengan Doa Sulungnya: “Di atas Batu ini, Saya Meletakkan Peradaban Orang Papua, Sekalipun Orang memiliki Kepandaian Tinggi, Akal Budi dan Marifat, tetapi tidak dapat Memimpin Bangsa ini, Tetapi Bangsa ini akan Bangkit dan memimpin dirinya sendiri” di Wasior, 25 Oktober 1925.

Ottow, Geissler dan I.S Kijne telah meninggalkan sebuah legacy dan konsep pembangunan Papua selama 168 tahun dengan sangat baik. Pertanyaannya, apakah legacy yang akan ditinggalkan Jokowi bagi Papua? Tentu saja banyak setalah hampir sepuluh tahun ini aneka pembangunan diarahkan ke Bumi Cenderawasih. Ini adalah bentuk kecintaannya bagi Papua. Hati dah cinta rakyat abadi pada Jokowi akan selalu terpatri di hati.

*) Laus Deo Calvin Rumayom adalah Founder Analisis Papua Strategis & APS Center for Development and Global Studies

 

Facebook Comments Box