Oleh Ap Octoviaen Gerald Bidana, S.Pd.,MPA*
Prolog
Para pendiri bangsa (founding fathers) dan pemimpin Negara Kesatuan Rapublik Indonesia (NKRI) sudah lama melihat Papua sebagai raksasa yang tertidur. Oleh karena itu, semua potensi sumber daya alamnya harus dimanfaatkan sebaik-baiknya secara sistematis, terstruktur, dan massif untuk kepentingan bangsa dan negara. Hal itu diawali dengan pembentukan Provinsi Irian Jaya (Papua sekarang) dan 9 Kabupaten di seluruh tanah Papua yaitu Kabupaten Sorong, Biak, Yapen Waropen, Nabire, Manokwari, Jayapura, Kota Madya Jayapura, Jayawijaya dan Kabupaten Merauke. Yang kemudian dalam perkembangannya dibentuk Kabupaten Paniai, Timika, Puncak Jaya dan Kota Madya Sorong serta membentuk Provinsi Papua Barat. Ini adalah bentuk kehadiran negara untuk mendorong proses pembangunan pada berbagai sektor yakni infrastruktur, pendidikan, kesehatan, perdagangan dan perindustrian, ekonomi bisnis dan sebagainya.
Berdasarkan perkembangan dan kemajuan Tanah Papua dalam berbagai aspek kehidupan serta adanya tuntutan masyarakat Papua atas pelurusan sejarah aneksasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Pepera 1969 sekitar tahun 1990-an semakin kuat, maka negara menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Sejak implementasi otonomi khusus sampai sekarang sudah menghasilkan 6 Provinsi dan 42 Kabupaten dan Kota Madya.
Kehadiran kabupaten/kota dan provinsi di Tanah Papua berdampak sangat luas dan menimbulkan berbagai gejolak sosial yang seringkali tidak terdeteksi secara baik. Kenyataan ini menjadi cambuk bagi para cendekiawan Papua dapat berpikir secara kritis dan bijaksana dalam memberikan alternative solusi yang bisa diterima semua pihak. Persoalan rumit yang mesti diatasi secara bijaksana oleh para pemimpin pemerintahan sekarang adalah migrasi besar-besaran ke Tanah Papua yang tidak terdeteksi di seluruh Papua. Saya menyebutnya sebagai penduduk ilegal.
Persoalan rumit lain yang belum pernah dituntaskan secara menyuruh adalah pelepasan tanah adat yang digunakan untuk pembangunan sarana prasarana publik, seperti perkantoran pemerintahan kabupaten atau provinsi. Kasus yang paling menyita perhatian adalah konflik antara pemerintah dan pemilik hak ulayat dalam pembangunan Kantor Pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan di Kampung Wouma, Kabupaten Jayawijaya.
Hemat saya, sebenarnya tidak sulit tetapi ada yang tidak beres. Hal yang tidak beres seperti sangat jarang ada pendekatan secara persuasif dengan pemilik tanah adat di wilayah tertentu. Artinya, sejauh ini belum ada pendekatan yang tepat untuk memuluskan agenda-agenda mulia yang diusung. Misalnya pihak yang paling bertanggung jawab jarang menemui keluarga atau marga bahkan sub suku pemilik tanah adat. Sebaliknya seseorang atau sekelompok orang mengaku diri sebagai pemilik tanah adat untuk mendapatkan keuntung tertentu. Kondisi seperti inilah yang seringkali menimbulkan benturan anatarsesama dan orang lain bahkan membentuk persoalan baru yang merugikan orang lain.
Pemilihan lokasi pembangunan Kantor Pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan ini cukup menyita perhatian banyak pihak. Sampai dengan sekarang, belum ada solusi yang tepat dan menguntungkan bagi semua pihak. Justru yang nampak adalah ada pihak yang merasa diri sebagai pemilik kesulungan tanah adat itu sehingga asal perintah saja dan tidak menciptakan situasi dialogis yang menyejukan. Lain pihak lebih memilih diam sambil tunggu moment yang tepat karena tidak dipentingkan. Selain itu, ada pula pihak yang berusaha mencari pendekatan kekeluargaan dan membangun kesadaran bahwa tanah adat adalah titipan leluhur untuk anak cucu masa depan.
Melihat kondisi ini, berbagai pihak ini perlu dipetakan serta dilakukan pendekatan persuasif fan mediasi secara baik untuk mendapatkan solusi. Tujuannya agar pembangunan Kantor Pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan bisa segera terwujud sesuai target pemerintah.
Masyarakat Adat Hubula
Masyarakat Adat Hubula/Etnik Hubula/Dani adalah penduduk pribumi Hubulama atau sekarang dikenal dengan Lembah Baliem di Kabupaten Jayawijaya. Mereka hidup berkembang dari generasi ke generasi sampai dengan sekarang lembah ini. Mereka hidup berbasiskan pada Honai (rumah adat) yang di dalamnya terdiri dari beberapa marga dengan pembagian otoritas hak ulayat tanahnya secara jelas.
Dalam masyarakat ini, sudah ada pembagian kepemilikan tanah berdasarkan marga/keret dari generasi ke generasi sampai dengan sekarang. Mereka beraktivitas apa saja hanya di wilayahnya, tidak bisa menerobos masuk di wilayah otoritas marga lain, kecuali sudah ada pembicaraan sebelumnya. Mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang hidup dan kehidupan, termasuk tanah ulayat marga dan suku.
Karena itulah, tanah adat milik beberapa marga di Wouma belum bisa disetujui sebagai lokasi pembangunan kantor gubernur Provinsi Papua Pegunungan. Mereka tidak menghendaki dengan berbagai alasan mendasar. Menurut mereka, tim dari pemerintah belum mediasi pemilik hak ulayat untuk duduk membicarakan secara baik. Mereka merasa akan dirugikan sebab tanah ini merupakan lahan garapan dan berburu hewan liar. Selain itu, tanah peperangan antarkeluarga yang memakan korban nyawa, sehingga secara adat dimaknai sebagai tanah sakral tempat bersemayamnya roh leluhur yang mesti dilindungi.
Jika pendapat masyarakat pemilik hak ulayat demikian, maka perlu diambil solusi yang tepat. Saya menawarkan tiga solusi atas persoalan ini.
Pertama, perlu bentuk mediator yang sudah tentu berasal dari putra daerah Hubula yang bekerja sebagai birokrat, politisi, religius, dan pemangku dewan adat. Mereka inilah yang bertanggung jawab membangun komunikasi persuasif memakai pendekatan budaya supaya mendapatkan solusi yang tepat. Solusi itu bisa memberikan garansi bagi pemerintah dapat mewujudkan pembangunan kantor pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan, entah di lokasi itu atau berpindah lokasi yang representative dan diterima semua orang.
Kedua, perlu dilakukan rekonsiliasi atau perdamaian di antara masyarakat etnik Hubula yang belakangan ini tidak bersatu, berbeda pendapat dan membentuk kelompok-kelompok yang kurang membawa dampak positif diantara mereka.
Ketiga, melaksanakan resolusi dari rekonsiliasi dengan cara bersatu padu menentukan memimpin dan mengendalikan semua proses pembangunan yang terjadi di atas tanah Hubula akibat kehadiran Provinsi Papua Pegunungan.
Pemerintah Jayawijaya dan Papua Pegunungan
Penting bangun pemahaman reflektif konstruktif bahwa ibukota Provinsi Papua Pegunungan dialamatkan di Wamena ibukota Kabupaten Jayawijaya. Kabupaten induk yang berdiri puluhan tahun lalu telah memekarkan 7 kabupaten dan 1 provinsi yang baru. Sebagai lokasi yang seentral dan strategis, semua aktivitas penerbangan dan pembangunan berpusat di Wamena.
Sementara, saat ini masih saja terjadi polemik antara pemerintah dengan masyarakat pemilik tanah adat di Kampung Wouma. Aksi protes yang dilakukan beberapa kali sudah dikonsumsi masyarakat seantero Papua. Jika demikian, maka muncul pertanyaan, pernahkah Bupati Jayawijaya dan jajarannya mengatur agenda untuk persiapan-persiapan teknis bersama rakyat pemilik tanah Hubula terkait posisi pembangunan kantor pemerintahan provinsi?
Jika sudah pernah, apa resolusinya supaya bisa diketahui rakyat secara umum. Sebab bupati beserta jajarannya memiliki tanggung jawab penuh dalam menentukan posisi lokasi pembangunan gedung kantor pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan. Jika pemikiran seperti ini sudah ada, maka tidak mungkin terjadi benturan antara masyarakat Wouma dengan pemerintah dan para pihak yang terlibat.
Jika polemik tanah adat kampung Wouma yang sampai dengan sekarang belum ada titik temu, maka pemerintah Kabupaten Jayawijaya perlu mengambil sikap mengosongkan salah satu tanah milik Pemda. Sebab tidak boleh juga masa bodoh dan membiarkan munculnya konflik horizontal masyarakat yang awalnya hidup saling menopang dan damai, hanya gara-gara kantor pemerintahan.
Diperkirakan, ada sejumlah tanah Pemda Jayawijaya yang belum dimanfaatkan dengan baik. Pemda Jayawijaya penting mengambil langkah preventif untuk menghentikan pergerakan masyarakat yang sebenarnya sangat arif dan bijaksana dalam kehidupan bersama. Artinya, Tim Pemekaran Provinsi Papua Pegunungan bersama sejumlah pejabat Jakarta harus berkomunikasi dengan Pemda Jayawijaya beserta stakeholdernya untuk memastikan lokasi pembangunan Kangtor Pemeerintahan Provinsi Papua Pegunungan. Sebab selama ini tidak terlihat jelas langkah-langkah preventif demi menjaga kondusifitas kehidupan masyarakat adat Hubula dan kelancaran proses pembangunan sesuai tujuan pemerintah.
Epilog
Kebijakan negara atas Papua sangat jelas dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021. Dampaknya telah terjadi pembentukan kabupaten/kota dan provinsi di seluruh tanah Papua. Kebijakan atas Otsus Papua karena sudah ada sebab musababnya yang harus dipahami dengan baik dan benar oleh semua pihak yang bekerja dan hidup di atas tanah Papua.
Tetapi, apabila semua program di era Otsus ini dianggap biasa saja, maka banyak persoalan baru muncul dimana-mana dan menyita perhatian dan waktu. Salah satu contoh pada polemik pemilihan lokasi pembangunan Kantor Pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan yang belum menemukan solusi yang menggembirakan.
Suka tidak suka, penentuan posisi lokasi pembangunan kantor pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan di Kampung Wouma ini mesti diselesaikan secara arif dan bijaksana. Sebab sudah cukup mengganggu aktivitas Pemerintahan Provinsi yang baru memulai program pembangunan.
Setelah mencermati secara seksama atas polemik pilihan lokasi pembangunan kantor pemerintahan provinsi Papua Pegunungan, saya menawarkan dua solusi.
Pertama, kepada Pemda Jayawijaya agar mengosongkan tanah bekas kediaman bupati Jayawijaya atau Sasana Wiyo yang tidak jauh dari kantor Bupati, LIPI Cabang Wamena dan kantor Dekenat Pegunungan Tengah untuk dibangun kantor gubernur provinsi Papua Pegunungan. Lokasi ini cukup luas dan sangat representatf berada berada di tengah-tengah kota sehingga konektivitas layanan publik dapat tercipta.
Solusi ini juga diambil untuk minimalisir benturan di antara masyarakat yang ingin hidup damai dan tentram serta ikut terlibat dalam proses pembangunan di atas tanah adatnya. Saya sangat percaya, ketika tanah Pemda Jayawijaya ini menjadi lokasi pembangunan kantor gubernur, maka rakyat pun antusias mendukungnya serta rekonsiliasi diantara kedua belah pihak yang beda pendapat selama ini akan terwujud di kota lembah agung ini.
Kedua, pemerintah Provinsi Papua Pegunungan dan Kabupaten Jayawijjaya harus menyediakan ruang kepada organisasi pemuda dan intelektual, seperti Ikatan Cendekiawan Awam Katolik Papua, Ikatan Cendekiawan Islam Papua, Ikatan Cendekiawan Kristen Papua dengan mengadakan sebuah kegiatan ilmiah. Tujuan kegiatan ialah mencarikan solusi permasalahan yang ada dan merumuskan Road Map pembangunan Provinsi Papua Pegunungan untuk 50-100 tahun mendatang.
*Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Awam Katolik Papua (ICAKAP) Se-Tanah Papua dan Wakil Rektor Bidang Kerjasama Universitas Okmin Papua.