Oleh Gusty Masan Raya
Tak ada yang pernah menyangka, dua sosok wanita cantik ini akhirnya bisa bersama di satu lagu. Siapa yang tak kenal Raisa Andriana dan Isyana Sarasvati? Di blantika musik tanah air, keduanya punya tempat sendiri-sendiri di hati para penggemar. Lagu-lagu mereka selalu “nge-hits” dipadu dengan wajah dan tubuh cantik membuat Raisa dan Isyana digilai jutaan penggemar muda Indonesia. Para penggemar Raisa membentuk komunitas YouRaisa, sementara Isyana dengan Isyanation.
Kamis, 30 Maret 2017 bertempat di Brewerkz Senayan City, Jakarta Selatan, keduanya merilis singel duet terbaru mereka berjudul Anganku Anganmu. Lagu dengan video clip berlatar Swedia ini rupanya terinspirasi dari para fans mereka. Bertahun-tahun, para penggemar keduanya tak jarang saling menyerang di dunia maya. YouRaisa, misalnya pernah melontarkan kata-kata tak sedap dengan menuduh Isyana plagiat atau meniru gaya bernyayanyi Raisa.
Baik Raisa maupun Isyana menganggap lagu ini menjadi wadah mereka untuk mengeksplorasi diri. Memberi semangat kepada setiap orang untuk bangkit percaya diri dengan bakat masing-masing. Lirik-liriknya pun sebenarnya tak hanya ditujukan khusus kepada para perempuan tetapi semua orang. Saya menemukan ada satu pesan kuat dan mendalam yang disampaikan lewat lagu ini: menghargai perbedaan.
Cobalah kita mengeja baik-baik lirik bait pertama lagu ini: Tiada berbeda apa yang ku rasakan/Tajam menusuk tak beralasan/Kita sudah dingin hati/Dulu kita pernah saling memahami/Sekian merasa telah menyakiti/Kita telah lupa rasa/Setiap katamu cerminan hatimu/Jadikan berarti/Jangan sia-siakan waktumu tuk membenci.
Bait ini sangat menyentil rasa sosialis kita. Keseharian kita tak jarang dilewati dengan kondisi sentimental ini. Kita lahir di zaman gadget. Tidur bangun ditemani smartphone. Bertukar informasi di aneka media sosial. Sayangnya, ruang baru kehidupan kita ini kini ditumbuhi akar-akar kebencian hanya karena perbedaan, baik antarpribadi, ras maupun golongan. Menguras energi. Memecah perdamaian.
Lihatlah ke ibukota Jakarta. Sejak kasus Ahok menjadi viral dunia. Dan orang saling menyerang, mem-bully antarumat beragama dan kelompok pendukung. Perbedaan yang sejauh ini direkatkan oleh Bhineka Tunggal Ika oleh The Founding Father’s kita digugat. Dicabik-cabik oleh kelompok sektarian, radikalis, dan oportunis bangsa. Menyedihkan.
Raisa dan Isyana menyadari makna perbedaan. Perbedaan pandangan penggemarnya harus diluruskan. Sebab energi untuk bermusik lahir dari pikiran-pikiran positif yang membebaskan. Termasuk, positif untuk memandang perbedaan sebagai kekayaan. Maka, tak perlu menghabiskan waktu hidup untuk mencari kekurangan dan kesalahan orang lain. Tak ada guna. Menjadikannya guru atau pelajaran, boleh-boleh saja.
Maka keduanya pun bernyanyi ceria di bait berikutnya: Satu jadikan tujuan kita/Hilangkan segala perdebatan yang sia-sia/Berlari ke arah yang sama bukan masalah/Semua punya ruang/Lukis yang kau mau/Karena ceritamu milikmu/Kutahu celamu tak sengaja berjiwa/Amarah dan benci beri kesempatan/Kita telah lupa rasa/Jangan sia-siakan waktumu tuk membenci/Semua asa yang kau punya/Tak kan membatasimu/Anganku anganmu.
Pertama kali mendengar lagu ini, saya teringat akan sejumlah status facebook teman-teman saya. Tentang Pilgub Papua yang bakal dilangsungkan pada Juni 2018. Saya merasa ada yang salah dalam pemahaman berpolitik. Bahwa berbeda pilihan politik adalah hak asasi setiap warga negara yang harus dihargai maka sejatinya siapapun pekerja politik, baik itu anggota partai politik, relawan dan (mungkin) wartawan harus menghargai pilihan politik orang lain.
Berlari (baca: berlomba menjadi gubernur) ke arah yang sama bukan masalah, kan? Semua punya ruang, punya kesempatan, punya hak yang sama. Tak ada yang membatasi. Kesadaran ini mestinya diikuti dengan sikap bijaksana menahan jemari untuk tidak mudah menulis ujaran kebencian di media sosial menyerang calon lain. Akan lebih elok jika setiap pendukung sibuk mempromosikan kebaikan dan prestasi yang dimiliki calonnya agar dikenal rakyat Papua.
Semua yang siap maju bertarung menjadi gubernur Papua adalah putra-putra terbaik. Mereka juga punya angan (baca: visi misi) yang berbeda. Mereka mau melukis (baca: merancang strategi) sesuai yang dimaui. Maka, seperti di ruang agama kita dielukan sebagai yang terdepan bagi tumbuhnya toleransi beragama nusantara, seperti itu pula harapan di ruang politik terbangun demokrasi yang santun di tanah ini. Lebih dari itu, kita berharap para kandidat pun bisa bergandengan tangan penuh persaudaran menyanyikan lagu ini. Berkompetisi politik yang sehat nan damai. (Pernah Dimuat di Majalah Papua Bangkit Edisi 1/Tahun V/Februari 2017)