Oleh Dr. Velix Wanggai*
KEHIDUPAN sosial di Tanah Papua penuh dengan warna. Mengelola sebuah perbedaan bukanlah sebuah hal yang mudah, namun perlu ketekunan, kesabaran, ketenangan, dan kearifan mengelola perbedaan itu.
Di berbagai negara yang masyarakatnya plural, dibutuhkan landasan filosofi dan strategi sosial di dalam mengelola perbedaan sosial itu. Bahkan, di negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat, Barack Obama, Presiden Amerika Serikat ke-44, ketika pidato pelantikan pada 21 Januari 2013, mengajak publik Amerika Serikat untuk bersatu dalam perjalanan negara Amerika Serikat, apa pun warna kulit, keyakinan, dan asal usul nama. Sebelumnya, dalam kunjungan ke Indonesia, pada 10 November 2010, Obama memuji prinsip dasar Bhineka Tunggal Ika sebagai modal dalam menjaga keharmonisan sosial di Indonesia.
Relevan dengan konteks mengelola sebuah keragaman sosial, Tanah Papua adalah sebuah contoh toleransi dan kerukunan sosial yang tinggi. Bagaimana mengelola kehidupan sosial yang beragam ini disadari sejak awal oleh Gubernur Papua Lukas Enembe, SIP.MH.
Di saat pidato perdana, pada 9 April 2013, Gubernur Lukas Enembe menyerukan filosofi Kasih Menembus Perbedaan sebagai modal sosial, modal kultural, sekaligus modal spritual di dalam mengelola perbedaan dan kebersamaan di Tanah Papua.
Filosofi Kasiih Menembus Perbedaan
Tanah Papua adalah tanah yang diberkati. Di atas Tanah ini, Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan manusia-manusia Papua yang begitu beragam suku, bahasa, etnik, dan pola kehidupannya. Di atas Tanah ini, Tuhan menganugerahkan potensi kekayaan alam yang melimpah yang bernilai strategis, dan ditambah dengan keindahahan alam yang begitu cantik. Saking indahnya burung Cenderawasih, burung ini dijukuki “the bird of paradise”. Sebagai Tanah yang diberkati, adalah menjadi tugas mulia kita semua untuk merawat dan menjaga kehidupan sosial yang begitu penuh warna.
Demikian pula, kewajiban kita untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup dan memanfaatkan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya dengan rasa keadilan sosial tanpa merusak ekosistem di sekitar kita.
Melihat konteks sosial Papua ini, sehingga mengapa Gubernur Lukas Enembe di awal kepemimpinan, sejak 9 April 2013, menggaungkan prinsip Kasih Menembus Perbedaan.
Kasih menjadi landasan kita untuk berpikir, melangkah, bersikap, dan mengambil kebijakan pemerintahan, strategi pembangunan, dan pelayanan sosial. Kasih mengajarkan ketulusan, kesantunan, kasih sayang, tolong menolong, saling menghormati, maupun panjang sabar. Nilai-nilai sosial yang mulia ini menjadi fondasi kita semua di dalam mengelola Papua yang penuh keragaman ini.
Karena itu, di awal kepemimpinannya, Gubernur Lukas Enembe berpesan bahwa Kasih ini melewati batas-batas sosial dan menembus sekat-sekat primordialisme, sehingga semua orang di Tanah Papua ini hidup penuh kedamaian, kerukunan dan toleransi yang tinggi.
Dalam pandangan Lukas Enembe, filosofi Kasih Menembus Perbedaan memiiki makna yang suci. Bagi Enembe, Kasih Allah adalah kasih yang sempurna, karena itu kasih tidak mengenal suku, usia, status. Karena kasih menembus semua perbedaan tersebut dan pada akhirnya menyatukan kita dalam sebuah ikatan kasih yang penuh damai sejahtera.
Tanah Papua, Contoh Toleransi Kehidupan Beragama
Di berbagai kesempatan, dalam menyikapi dinamika sosial yang terjadi di tegah-tengah masyarakat Papua, Lukas Enembe telah berulang kali menghimbau kepada masyarakat Papua agar jangan sampai diboncengi kepentingan tertentu.
Kata Enembe, “Kita upayakan Papua menjadi contoh bagi Provinsi lain di Tanah Air tentang toleransi kehidupan beragama…Kita senantiasa menjaga Papua sebagai tanah damai”.
Ketika menghadapi ujian keamanan di Karubaga-Tolikara, Juli 2015, Gubernur Lukas Enembe segera mengambil langkah-langkah persuasif guna meredam situasi dan membangun kembali rasa aman dan rekonsiliasi.
Enembe mengatakan, “Kasus Tolikara ini bersifat insidental, muncul karena kesalahpahaman baik antaraumat beragama maupun masyarakat dengan pihak keamanan, tidak perlu dibesar-besarkan lagi seakan-akan di Papua ini tidak junjung toleransi. Sejak dulu, Papua ini sangat menjaga toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Untuk itu diharapkan semua pihak terus membangun wilayah itu dalam keberagaman dan dengan kasih. Saya juga meminta kepada Pemerintah Kabupaten Tolikara, pihak keamanan (TNI/Polri) dan para pemimpin atau tokoh agama untuk terus membangun komunikasi penuh kasih dan pendekatan persuasif”.
Sejalan dengan upaya merawat keharmonisan dan kerukunan, Enembe selalu mengajak tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk membangun toleransi di tengah-tengah era globalisasi dan perubahan sosial yang terjadi di berbagai belahan dunia. Tentu, kita ingin simpul-simpul sosial yang moderat dan toleran, yang jauh dari sikap radikal. Radikalisme tidak cocok dalam setting sosial ke-Papua-an.
Kebersamaan Dalam Pembangunan
Dalam mengelola masyarakat yang plural seperti Papua, ada pakar seperti Arend Liijphart, meneliti soal “democracy in plural societies” (1977), yang menasehati agar dimiliki sebuah platform bersama di dalam mengelola perbedaan. Karenanya, filosofi Kasih Menembus Perbedaan yang digagas Lukas Enembe sangat relevan dalam setting sosial Papua.
Seruan dan ajakan dari Enembe selalu disampaikan di berbagai pertemuan publik. Dalam sebuah kesempatan di pertengahan Juni 2014 lalu, Gubernur Lukas Enembe mengajak, “Kita semua Papua, karena itu mari kita bekerja untuk Tanah Papua yang kita cintai ini tanpa adanya perbedaan”.
Marilah seluruh komponen masyarakat bergandengan tangan dalam ikatan kasih sebagai sebuah persaudaraan dalam semangat kebersamaan untuk membangun Tanah Papua, sesuai tugas dan tanggung jawab kita masing-masing untuk menuju era baru peradaban baru Papua yang Bangkit, Mandiri, dan Sejahtera”.
Demikian juga, ketika di acara buka puasa bersama di Timika, pada 11 Juni 2017, Gubernur Lukas Enembe menyampaikan bahwa sebanyak 250 suku asli di Papua dengan ragam budaya dan bahasanya yang mewarnai kehidupan masyarakat, termasuk kekayaan alam meliputi pertambangan, perikanan, kehutanan, dan lainnya harus dijaga agar tetap lestari. Untuk menjaga keutuhan wilayah dengan sumber daya yang terkandung di dalamnya, maka rakyat Papua harus menggelorakan semangat empat pilar kebangsaan, baik NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam konteks buka puasa di bulan Ramadhan ini, Lukas Enembe memandang buka puasa merupakan momen silaturahmi antar umat beragama, apalagi Papua termasuk daerah yang erat dalam menerapkan toleransi.
Bagi Enembe, silaturahmi untuk menjalin toleransi harus tetap dipegang teguh karena sangat bermanfaat bagi kita di Papua. Kita harus bersyukur dengan adanya kebhinnekaan ragaman, kita bisa menjadi bangsa yang besar.
Sebagai tokoh yang moderat, terbuka dan inklusif, Gubernur Lukas Enembe senantiasa mengajak rakyat Papua menjaga keharmonisan dan persaudaraan. Kebhinekaan yang sudah terpelihara pun harus dipertahankan.
Karenanya, bagi seluruh masyarakat Papua, baik yang ada di gunung maupun pesisir dan kepulauan, perlu selalu waspada dengan segala bentuk perpecahan dengan isu suku, agama maupun ras. Keragaman budaya yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sejak dahulu harus terus diangkat menjadi kekuatan dalam pembangunan Papua.
Akhirnya, di awal Mei 2017 lalu, Gubernur Lukas Enembe, mengajak seluruh masyarakat Papua, memasuki bulan puasa dan bersiap menyonsong Hari Raya Idul Fitri 1438 Hijriyah, untuk menjaga situasi keamanan di lingkungan masing-masing guna merawat keragaman kerukunan dan persaudaraan dalam kebersamaan.
Filosofi Kasih Menembus Perbedaan menjadi dasar di dalam kehidupan sosial di tanah Papua, dan juga sebagai nilai yang dipedomani di dalam merumuskan strategi dan kebijakan pembangunan di tanah Papua. Persaudaraan dalam kebersamaan merupakan modal berharga di dalam kehidupan sosial di Tanah Papua. Kita patut bersyukur akan hal itu.
*Penulis adalah Mantan Staf Khusus Presiden SBY Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah