Sosok Reky Douglas Ambrauw S.Sos.M.Si sudah tak asing lagi bagi dunia birokrasi di Papua. Lelaki kelahiran 1 Juli 1967 ini merintis karir dari pegawai kecil golongan IIA hingga golongan IVD saat ini. Membuatnya matang dan teruji.
BANYAK JABATAN strategis sudah diembannya. Namun ia sosok yang rendah hati, ramah dan murah senyum. Siapa sangka, di balik suksesnya kini, Reky sesungguhnya adalah seorang pekerja keras dan petarung gigih yang telah melewati pengalaman kerja penuh tantangan selama 23 tahun di pedalaman.
“Keinginan untuk maju, mengubah diri, bekerja membangun daerah membuat apapun tantangan, harus saya hadapi,” ujar Reky kepada Tim Redaksi Majalah Papua Bangkit yang menemuinya di ruang kerjanya, Kamis, 22 Juni 2017.
Reky menyelesaikan pendidikan di IPDN Yoka, Jayapura tahun 1991 bersama-sama dengan Sekretaris Daerah Papua, Hery Dosinaen, SIP.MKP. Sebagai aparatur sipil negara, ia mengaku siap menerima konsekuensinya untuk ditempatkan dimana saja, termasuk di daerah pedalaman Papua. Sebab ketika itu, ada aturan dari Kementerian Dalam Negeri bahwa alumni IPDN tidak boleh di kabupaten dan provinsi, tetapi harus langsung ke kecamatan.
“Saya ditempatkan di Kecamatan Mulia Kabupaten Paniai, sekarang ini Kabupaten Puncak Jaya. Saya jadi Kepala Urusan Pemerintahan dengan Golongan IIA waktu itu. Pak Hery Dosinaen ditempatkan di kecamatan Ilaga,” kata ayah dari Daniel dan Brenda ini.
Sikap rendah hati dan keuletannya dalam bekerja, membuat Reky begitu disukai rekan kerja hingga atasannya. Masyarakat setempat pun begitu menyayanginya. Daerah Mulia kala itu, boleh dibilang sangatlah terpencil dan jauh dari sentuhan pembangunan, tidak seperti sekarang ini.
Tetapi rasa kekeluargaan yang tinggi dan sudah terbiasa tinggal bersama di honai, membuat Reky muda begitu mudahnya berbaur. Apalagi, sejak kecil, ia sudah mengikuti sang ayahnya bertugas di Mulia.
Perjuangan merintis karir dari bawah benar-benar dilakukan Reky. Dua tahun sebagai Kepala Urusan Pemerintahan, dirinya mendapat kesempatan melanjutkan studi strata satu (S1) di Universitas Hasanudin Makassar. Dua tahun berselang usai lulus studi, jabatan baru dia raih yakni sebagai Kasubag Program. Kecamatan Mulia sendiri di tahun itu sedang dalam proses menjadi kabupaten Puncak Jaya.
Di tengah meniti karir ASN, Reky pun menopang dirinya dengan terus menimba ilmu yang lebih tinggi. Dua tahun sebagai Kasubag Program, ia berhasil lolos ikut tes program strata dua (S2) Magister Ekonomi Pembangunan di Universitas Gajah Mada, Yogjakarta.
“Saya berangkat kuliah ke Yogya tahun 2000 dan selesai 2003. Setelah itu saya kembali ke Puncak Jaya dan dipercayakan sebagai Kepala Bagian Tata Usaha pada Dinas Pendapatan Daerah. Setelah itu terus masuk jadi Kepala Bappeda Kabupaten Puncak Jaya,” urainya.
Karir suami dari Setyawati Ana itu terus melejit, tatkala kabupaten Puncak terbentuk, pemekaran dari Puncak Jaya. Tahun 2008-2011, Reky menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten Puncak. Tak sampai di situ, setahun berikutnya, ia pun dipercayakan sebagai Penjabat Bupati.
Saat Lukas Enembe, SIP.MH terpilih menjadi Gubernur Papua, Reky menjadi salah satu sosok yang dipilih Lukas masuk dalam kabinet kerjanya. Tahun 2013, ia dilantik menjadi Asisten III Bidang Umum Setda Provinsi Papua.
“Kurang lebih 7 Bulan menjabat Asisten III dan sempat merangkap Plt. Kepala Dinas Kesehatan, saya pindah lagi dipercaya sebagai Kepala Badan Penghubung di Jakarta dari 2014 sampai dengan awal 2017. Baru pada Februari lalu saya dilantik menjadi Kepala Dinas Perhubungan,” papar Reky.
Di organisasi perangkat daerah yang dipimpinnya saat ini, Reky dengan rendah hati mengaku ia banyak belajar dari para stafnya. Latar belakangnya memang bukan dari bidang perhubungan, tetapi kemampuan manajerial dipadu kematangan mengelola birokrasi yang sudah teruji membuat Reky dengan gembira penuh percaya diri menjalankan amanah ini.
“Selalu mengucap syukur atas kepercayaan yang diberikan dan terus belajar dan belajar, itu prinsip saya. Banyak pemimpin bekerja tapi jarang mau belajar dari para stafnya. Saya, sejak masuk di Dinas Perhubungan Februari 2017 lalu, saya rangkul semua kepala bidang saya. Saya belajar dari mereka, saya petakan masalah dan susun perencanaan. Target saya, harus jalankan visi misi gubernur untuk tingkatkan konektivitas daerah untuk memacu pertumbuhan ekonomi,” kata pria yang selalu murah senyum itu.
BANGUN KONEKTIVITAS ANTARDAERAH
Di tengah kesibukannya, Tim Redaksi Majalah Papua Bangkit berkesempatan berbincang-bincang dengan Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Papua, Reky D. Ambrauw, S.Sos.M.Si. Ia didampingi Kepala Bidang (Kabid) Perhubungan Laut, Aloysius BP, ST, Kabid Udara Yoseph Patrick Numberi, Kabid Darat Nasiaput Itlay, SE.MM. Berikut petikan wawancaranya.
Apa visi misi Dinas Perhubungan yang Bapak pimpin?
Misi kami yaitu terwujudnya pelayanan transportasi terpadu dalam rangka peningkatan aksesibilitas, mobilitas dan pemerataan pelayanan jasa transportasi. Kami punya lima misi yaitu pertama, meningkatkan kualitas perencanaan transportasi. Kedua, mengembangkan dan mempercepat pembangunan prasarana dan sarana transportasi. Ketiga, meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa transportasi. Keempat, meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan jasa transportasi. Kelima, meningkatkan pembinaan SDM yang kreatif dan produktif.
Soal transportasi, khususnya tranportasi laut, ada program Presiden Jokowi untuk pembangunan tol laut. Apa masuk dalam program Dinas Perhubungan?
Sudah tentu. Dalam pembahasan di Jakarta, titik beratnya ada di Jayapura, Merauke, dan Timika. Bahkan, tol laut kita padu dengan transportasi udara. Di Timika misalnya. Dari Pelni sudah bangun infrastruktur di Bandara sehingga ketika barang-barang yang kapasitas besar masuk di Pelabuhan Timika, langsung bisa drop ke bandara untuk disalurkan ke daerah-daerah pedalaman. Jadi konektivitasnya lebih cepat, nyambung antara tol laut dan udara. Kalau kita lihat Nabire juga bisa karena ada lima kabupaten yang konektivitasnya bisa terakses cepat yaitu bukan hanya tol laut tetapi bisa tol darat. Begitu barang tiba di Pelabuhan Nabire, kontainer bisa dibawa langsung ke Dogiyai, Paniai, Intan Jaya, Deiyai.
Soal pelabuhan, kira-kira sudah berapa pelabuhan yang dikerjakan oleh Dinas Perhubungan Papua selama ini?
Dari perhubungan sudah dan sedang mengerjakan beberapa pelabuhan di antaranya Pelabuhan Moesbopondi, Abesau, Hanyaan, Lape, dan Waren. Ke depan akan bertambah yaitu Pelabuhan Kepi di Mappi dan Pelabuhan Tanah Merah di Boven Digoel, Pelabuhan Mambor di Nabire. Misalnya pembangunan dermaga di Pulau Moesbopondi Kabupaten Supiori. Kenapa jauh dibangun di sana, padahal kalau dilihat di sana hanya ada transportasi laut dan gelombang lautnya sangat tinggi. Justru ini yang menjadi perhatian bapak gubernur untuk membangun satu dermaga di sana demi membantu masyarakat. Pulau ini cukup jauh dari Supiori sehingga tahun ini kita masuk saat terakhir untuk bisa digunakan.
Di Pulau Mambor, dulunya pelabuhan kayu dan ada kapal perintis yang masuk dan singgah membawa dampak ekonomi bagi masyarakat. Tetapi ketika dimakan usia karena pelabuhan kayu, sehingga kami masuk untuk membangun dermaga beton untuk membantu kembali berjalannya perekonomian masyarakat. Hampir semua kabupaten kami masuk. Termasuk di Waropen membantu perpanjangan pelabuhan.
Bagaimana pendanaannya?
Pembangunan ini memang berkelanjutan. Dananya bukan saja dari ABPD Provinsi Papua tetapi juga dari Pusat dan kabupaten setempat. Jadi ada sinkronisasi antara provinsi, pusat dan kabupaten.
Sejak tiga tahun belakangan, ada giat pembangunan pelabuhan peti kemas di Depapre. Bagaimana perkembangannya?
Soal pelabuhan peti kemas, Depapre, dari sisi kewenangan, kita dari Dishub Papua masuk dari segi daratnya. Namun saat ini masih terkendala pembebasan lahan, yang menjadi bagian urusan kabupaten. Sikap kami sama dengan Pusat, siap masuk membantu jika masalah sudah selesai. Kemarin kami rapat koordinasi dengan instansi terkait tentang kelautan, mereka kasih masukan tentang masalah padatnya jalan sehingga container masih tertumpuk. Kami bicara bagaimana operasi kontainer itu bisa cepat karena kalau mengenai otorita pelabuhan, kami tidak bisa campur tangan.
Beralih ke Bidang Perhubungan Udara, kira-kira berapa jumlah lapangan terbang di Papua?
Kita ini jadi satu-satunya provinsi di Indonesia dengan lapangan terbang (lapter) terbanyak. Data terakhir kami 2016, ada sekitar 300 lapter. Ini tentu membutuhkan perencanaan yang akurat karena topografi Papua yang sangat susah. Yang pertama, meningkatkan kualitas perencanaan sehingga kita mau membangun lapter di suatu daerah kita tidak langsung asal bangun saja, perlu tahapan perencanaan yang sudah terstruktur. Rencana itu kita matangkan dalam buku besar di dinas yaitu sasaran transportasi wilayah (satrawi). Tahun ini saja, ada 16 bandara yang kami bangun. Hanya beda-beda klasifikasi, ada yang perpanjangan, ada yang sisi darat, masih pekerjaan tanah. Tetapi tidak pernah putus, jalan terus.
Tahun lalu Dinas Perhubungan punya program pesawat bersubsidi, apakah masih akan berlanjut?
Memang itu program bagus, sudah di-launching oleh bapak gubernur dan 2017 baru ada dananya. Saat ini kami masih dalam proses membuat regulasi. Ini bagus karena membantu operator penerbangan perintis di daerah-daerah terisolir. Misalnya ada pasien yang harus dirujuk keluar. Intinya untuk melayani masyarakat kurang mampu. Kita harap bisa segera terlaksana di tahun ini. Operator penerbangan mana yang dapat, nanti setelah keluar regulasinya baru jelas.
Transportasi udara memang harus jadi perhatian karena kalau boleh saya katakan, empat wilayah adat hampir semuanya berada di pegunungan. Hanya satu wilayah perairan yaitu Saireri. Jadi harus perhatian hanya memang dari sisi anggaran terbatas. Dan di wilayah pedalaman, begitu banyak lapter bahkan hampir setiap kampung ada lapangan terbang. Kalau tidak diperhatikan baik, ekonomi masyarakat terganggu karena harga barang melonjak. Saya pengalaman 23 tahun di wilayah pedalaman, jadi saya tahu persis dampak dari transportasi yang hanya lewat udara itu.
Salah satu keluhan klasik masyarakat adalah tingginya harga tiket di jelang hari raya. Bagaimana Dinas Perhubungan menyikapinya?
Kita memang sudah mengadakan beberapak kali pertemuan dengan maskapai penerbangan nasional, dan bertanya soal itu. Mereka sampaikan ada standar harga ambang atas dan ambang bawah atau standar harga tertinggi dan terendah. Bersama Pak asisten II dan Sekda, kami menyarankan bisakah di antara ambang ini, ambil harga tengahnya? Tetapi setelah melihat aturan kementerian perhubungan, harga yang ada cukup wajar. Itu hak maskapai, kita tidak bisa menekan karena mereka memiliki alasan.
Apakah ada solusi lain misanya dengan menambah armada tiap maskapai dan memberlakukan penerbangan malam di Bandara Sentani?
Soal bandara itu otoritanya di bawah kementerian perhubungan. Kita bisa mengadakan koordinasi, ketika ada persoalan kita undang, tanyakan, minta penjelasan dan solusinya apa. Bisa, operating house dibuka, fasilitas bandara-bandara transit disiapkan. Dari sisi kapasitas sebenarnya sudah bisa. Tapi kita juga bisa lihat bahwa di Bandara Sentani itu yang padat di jam-jam pagi, setelah itu sepi. Hanya dari jam 06.00 pagi sampai jam 08.00 malam. Mungkin karena wilayah paling ujung sehingga pihak maskapai pikirkan konektifitas. Kalau sampai malam, tentu saja peminatnya pun terbatas.
Jika demikian, bagaimana kesiapan menghadapi PON XX tahun 2020?
kami sudah rapat dengan semua operator penerbangan dan kita memberikan gambaran untuk nanti pelaksanaan PON 2020 bagaimana. Nanti secara teknis ada bandara-bandara yang siap. Waktu kunjungan ke terminal Merauke, mereka sudah siap sambut PON dan itu memang pekerjaan dari kementerian perhubungan. Mereka tetap minta support dari kami untuk hal lain yang masih kurang-kurang. Ke depan, apron menjadi perhatian karena seperti Bandara Sentani saja sudah padat dan itu yang mempengaruhi slot time-nya. Karena tidak semua bisa berangkat bersamaan, harus menunggu yang berangkat dan yang datang, harus parkir.
Contoh, ketika kami ke Ewer-Asmat, pesawat masih parkir di ujung bandara, kami harus putar dulu di udara selama 10 putaran, tunggu pesawat terbang dulu baru kami mendarat. Pesawat ini juga lama di bandara karena menunggu satu penumpang dari Agats karena menyeberang sungai. Sesuai SOP, sebenarnya harus prioritas pesawat yang di atas udara mau mendarat tetapi itulah kondisinya. Saya baru kembali dari Timika, Asmat, Mappi untuk melihat lokasi-lokasi yang akan kami masuki di tahun 2017. Yang sudah, Kobakma, Nabire, dan Mamberamo Raya.
Lalu bagaimana program Bidang Perhubungan Darat?
Kami berencana membangun sejumlah terminal tipe B. Sesuai regulasi baru, Terminal tipe A menjadi kewenangan Pusat, tipe B menjadi kewenangan Provinsi, dan tipe C oleh kabupaten/kota. Selain di Waena yang hampir rampung, kita akan bangun terminal tipe B di Sentani, di Nabire untuk melayani empat kabupaten yaitu Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya dan Paniai. Selain itu, juga terminal tipe B di Merauke untuk melayani Boven Digoel, dan jika sudah ada akses jalan maka aka ke Pegunungan Bintangna. Kita juga akan bangun di Wamena yang akan menjadi home base untuk melayani beberapa kabupaten pemekaran dari Jayawijaya, seperti Tolikara, Yalimo, Lanny Jaya dan Mamberamo Tengah.
Kapan kira-kira target Terminal Tipe B di Waena difungsikan?
Tahun ini kita masuk lagi untuk intervensi kontruksi bangunannya. Jika tahun ini selesai, mudah-mudahan tahun depan sudah bisa mulai difungsikan. (Gusty Masan Raya/Frida Adriana)
.