PERUSAHAAN tambang emas raksasa asal Amerika Serikat, PT Freeport Indonesia (PTFI) akhirnya melunak. Setelah dilakukan serangkaian negosiasi, pada Minggu, 27 Agustus 2017, Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam siaran pers menyatakan Pemerintah Indonesia telah mencapai kata sepakat dengan Manajemen PTFI terkait divestasi 51 persen saham perusahaan tersebut.
Selain divestasi, juga disepakati bahwa landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia akan berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan berupa Kontrak Karya (KK).  Selain itu, PT Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter selama 5 tahun, atau selambat-lambatnya sudah harus selesai pada Oktober 2022, kecuali terdapat kondisi force majeur.
Buntut dari divestasi saham sebesar 51 persen itu, Papua sebagai pemilik tambang pun dipastikan mendapatkan saham sebesar 10 persen sebagaimana hasil pertemuan Gubernur Papua Lukas Enembe, SIP.MH dengan Menteri ESDM Ignasius Jonan. Angka 10 persen ini sesungguhnya belum adil. Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika, mengajukan 20 hingga 25 persen kepemilikan saham yang semestinya. Sebab yang memiliki gunung emas yang dikeruk oleh Freeport adalah Papua, bukan Jakarta.
Kendati demikian, kita bersyukur bahwa Pemerintah Pusat di bawah pemerintahan Jokowi bisa memenangkan negosiasi dengan sejumlah tuntutan yang diajukan kepada PT Freeport Indonesia. Kita juga bersyukur bahwa Papua akan diberikan 10 persen saham. Yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana mengawal 10 persen saham yang diperuntukkan bagi Papua itu. Mengapa?
Seperti semut mengerumuni gula, saham Freeport ini tentu menjadi incaran pemburu rente di pusat kekuasaan politik dan ekonomi Indonesia. Apalagi, pembagian porsi saham 10 persen untuk Papua ini belum mengikat secara hukum. Celah lain, mereka tahu bahwa dari sisi fiskal daerah, Papua tak mampu dan butuh pihak ketiga sebagai penyedia dana yang mencapai puluhan triliunan untuk membeli saham itu. Supaya akur, semua urusan jatah saham Papua sudah semestinya melalui satu pintu yakni Pemerintah Provinsi Papua, dengan melibatkan Pemda Mimika, Puncak dan masyarakat adat pemilik tambang.
Sambil menagih saham kepada Pemerintah Pusat, tak ketinggalan tuntutan untuk segera merealisasikan pembayaran utang Pajak Air Permukaan kepada PT Freeport Indonesia harus terus dilakukan oleh Pemprov Papua. Sebab nilai utang Rp 5,3 triliun itu sangat besar dan bisa digunakan untuk membangun Papua yang masih tertinggal. Â (Redaksi/Dimuat di Majalah Papua Bangkit Edisi Oktober 2017)