JAYAPURA (PB.COM) – Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Papua mengklaim, telah mengeluarkan sedikitnya 122 sertifikat tanah untuk masyarakat asli Papua.
Kepala Kanwil BPN Papua, Arius Yambe mengatakan, untuk menerbitkan sertifikat tanah tersebut, harus berdasarkan aturan seperti untuk kawasan hutan itu tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, pihaknya berkoordinasi dengan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) untuk penyelesaiannya.
“Kita punya objek itu masyarakat asli Papua, kami datang telusuri ke kampung – kampung mereka, hanya saja sebagian besar tanah yang ada di Papua ini merupakan kawasan hutan dan itu tidak boleh,” ungkap Arius di sela sela kegiatan Rapar Koordinasi Gugus tugas Reforma Agraria (GTRA), Senin (8/7)
Adapun rincian sertifikat yang sudah dikeluarkan yaitu tahun 2017 ada 60 ribu sertifikat tanah, lalu 2018, 30 ribu sertifikat, dan tahun 2019 kurang lebih 32 ribu
Menurut Arius, memang ada perbedaan prespsi yang menyangkut hukum yang berlaku. Pertama masyarakat adat, khususnya di Kota Jayapura. Dimana dulu sertifikat di terbitkan oleh pendahulu, karena status tanah tersebut merupakan tanah negara.
“Sehingga dalam prosedurnya cukup dengan surat keterangan dari lurah,lalu surat pernyataan dari instansi bersangkutan, bahwa mereka menguasai tempat itu, jadi tidak perlu melewati satu mekanisme dalam pelepasan adat lagi, tapi masyarakat mengangap tanah yang ada ini belum pernah dilepaskan,” jelasnya.
Masyarakat asli Papua yang tinggal di Kota Jayapura sebelumnya juga mengaku ada pelepasan tanah dari pemerintah Belanda padahal tidak.
“Tapi ini sudah dilakukan pemutusan dari pegadilan yang menyatakan ini tanah negara sehingga statusnya itu tanah negara. Tapi masyarakat tidak mengakui itu, memang diperlukan duduk bersama membahas ini, sehingga masyarakat bisa paham permasalahannya,” beber Yarius
Sementara itu, Asisten Bidang Pemerintahan Sekda Provinsi Papua, Doren Wakerwa meminta agar persoalan tanah, khususnya tanah pemerintah yang digugat oleh masyarakat bisa diselesaikan dengan sinergitas kelembagaan terkait sehingga gubernur,bupati dan walikota tidak dipusingkan lagi dengan persoalan tanah yang ada.
“Permasalahan disektor agraria sangat komplek, seperti yang terjadi di bidang kehutanan, perkebunan dan pertambangan, oleh karenanya dalam implementasi reforma agraria tanah, perlu jalin dankuatkan kembali koordinasi, sebab usulan serta pendapat legal formal dalam penetapan arah kebijakan,” katanya. (Andi/Frida)