Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K)

Selamat datang Pak Hasto! Selamat datang di Bumi Cenderawasih, Papua. 

SENIN, 18 November 2019, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) berkunjung ke Kota Jayapura. Pasca dilantik oleh Menteri Kesehatan, 2 Juli 2019 lalu, ini adalah kali pertama Hasto menginjakkan kaki di provinsi tertimur Indonesia ini.

Kedatangan Hasto tak hanya sekedar seremonial belaka, seperti gaya para menteri yang sudah-sudah. Saya melihat ia berbeda. Ia datang membawa satu visi dan arah baru yang kuat untuk membangun kependudukan dan keluarga di Papua. Ia ingin membangun Papua sepenuh hati berbasis kearifan lokal. Membangun Papua dengan konteks Papua. Kira-kira seperti itu.

Jauh sebelum Hasto datang, ia tentu telah mendengar isu lokal di Papua yang sedang berkembang, membaca data populasi penduduk di Papua yang sangat kecil dan mencoba mencari jawaban mengapa, dan membuka mata melihat fakta betapa tanah subur maha luas ini masih sedikit penduduknya. Berbeda jauh dengan Jawa, misalnya. Dan kali ini, ia hadir mendengarkan dengan hati suara aspirasi masyarakat dan pemangku kebijakan pembangunan di Papua tentang apa yang harusnya ia lakukan agar keluarga Papua sejahtera.

“Tidak boleh one size for all,” begitu kata kuncinya. Good, Hasto!

Prinsip kebijakan ini yang menjadi titik balik menuju arah baru pembangunan KB di Papua di era Hasto. Hasto menyadari Indonesia adalah negeri dengan beribu ragam penduduk yang tercermin dari suku, ras dan latar belakang pembeda lainnya. Memaksakan satu ukuran ke semua orang yang berbeda bentuk tubuhnya, bukankah itu mustahil?

Berdasarkan studi kependudukan Badan Pusat Statistik 2010, terdapat 1.331 kategori suku di Indonesia. Angka ini kemudian di susutkan kembali pada tahun 2013 menjadi 633 dengan menyatukan beberapa kelompok suku yang sebenarnya adalah subsuku.

Keberagaman Indonesia membuat kebijakan atau program yang bersifat “pukul rata” (satu kebijakan atau program besar yang berlaku bagi semua orang) tidak terlalu efektif di Indonesia. Hasto paham ini. Kebijakan atau program yang dibentuk dan diformulasikan di Indonesia sebaiknya disesuaikan dengan komunitas atau dikenal dengan berbasis kearifan lokal.

Prinsip ini disampaikan Hasto berulang kali sejak bertemu Kepala Perwakilan BKKBN Papua Sarles Brabar, SE.M.Si jauh-jauh hari di kantornya, Jakarta. Juga saat diskusi ringan dengan Sekretaris Daerah Papua Hery Dosinaen, S.IP.M.KP.M.Si di ruang rapat lantai 10 SwissBell Hotel Jayapura kemarin siang. Hingga berujung keterangan pers di depan kamera dan tape recorder wartawan yang mewawancarainya untuk dipublikasi. Menarik! Sekda Hery pun mengapresiasi. Salut.

Kenyataan tak bisa dipungkiri bahwa sebagian masyarakat Papua, terutama Orang Asli Papua (OAP) masih memandang negatif program Keluarga Berencana (KB) di Papua. Stigma KB bagi sebagian masyarakat Papua adalah program pembatas keturunan, kasarnya pemandulan. Bahkan, bisa saja di kalangan akar rumput label yang lebih kejam sebagai program “pembunuh” orang Papua. Hasto sudah tahu ini.

Kita tak bisa menyalahkan persepsi itu lahir di kepala orang-orang itu. Mengapa? Sebab, di tengah kondisi geografis yang sulit, akses informasi yang terbatas, mobilitas masyarakat yang jarang, dan ditambah lagi dengan tingkat pendidikan yang kecil, pandangan buruk atau keliru dari masyarakat Papua tentang KB memang dimaklumi saja. Pandangan ini berakar sejak masa ORBA era Soeharto yang menjalankan program wajib 2 anak cukup bagi seluruh keluarga di Indonesia guna menghindari ledakan penduduk.

Tetapi mengapa harus seragam di seluruh Indonesia? Nah inilah kecerdasan hati seorang Hasto memahami masalah kependudukan dan keluarga di Papua. Ia datang menawarkan sebuah kebijakan yang tepat dan ramah dengan menegaskan bahwa BKKBN tidak sama sekali membatasi keturunan keluarga di Papua, melainkan mengatur jarak kelahiran. Aspek kesehatan adalah poinnya. Secara sederhana, Hasto mau katakan, di daerah lain seperti Jawa yang padat penduduknya, jargon 2 anak cukup tetaplah digencarkan untuk menekan ledakan penduduk, tetapi tidak untuk Papua!

“Silahkan keluarga di Papua punya anak lebih dari dua, asalkan atur jarak kelahiran minimal 3 tahun, maksimal 5 tahun,” begitu kata Hasto.

Sebagai dokter spesialis dan konsultan kandungan, Hasto menyadari bahwa kesehatan ibu dan anak adalah faktor utama penentu kesejahteraan keluarga. Maka salah satu cara untuk menghasilkan anak yang cerdas ialah dengan mengatur jarak kelahiran. Tentu saja, hal ini harus ditopang dengan program 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) guna pemenuhan gizi yang seimbang antara bayi dan sang ibu.

Jangan lupa, Hasto juga adalah mantan kepala daerah yang pernah memimpin Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta dua periode. Ia sangat tahu tentang bagaimana mewujudkan generasi emas Indonesia, termasuk di Papua. Dan salah satu kekuatan penopang untuk menciptakan SDM unggul dan berkualitas itu yakni lewat kesehatan ibu dan anak.

Oleh karena itu, tidak adanya pembatasan jumlah anak di Papua, tak berarti asal punya banyak anak. Pengaturan jarak kelahiran juga adalah bagian dari kesiapan dan perencanaan ekonomi dan pendidikan demi mendapatkan kualitas generasi baru itu. Jika tidak, ujung-ujungnya yang korban adalah ibu dan anak yang dilahirkan.

Satu lagi yang harus saya puji dari Hasto. Ia berani melakukan rebranding untuk lembaga yang dipimpinnya. Bahkan, tak tanggung-tanggung, dengan tegas ia mengatakan bahwa khusus di Papua, ia siap mengganti nama program Keluarga Berencana (KB) dengan nama lain seperti Keluarga Sehat atau Keluarga Sejahtera, jika KB masih terus membawa konotasi negatif dan menimbulkan resistensi di tengah masyarakat. Luar biasa!

Lalu seberapa parahkah penolakan masyarakat Papua terhadap program KB di Papua? Belum ada lembaga yang pernah membuat penelitian tentang hal ini. Tetapi saya memandang, isu penolakan itu semata-mata karena kekurangan informasi dari masyarakat. Dan ini menjadi PR besar BKKBN Papua. BKKBN harus proaktif dan kreatif melakukan sosialisasi dengan beragam model pendekatan, baik berbasis agama, budaya, seni, komunitas dan sebagainya.

Salah satu contoh. Program Kampung KB yang menjadi program unggulan BKKBN sejak 2016 sesungguhnya banyak diterima masyarakat Papua. Kita patut mengapresiasi Kepala Perwakilan BKKBN Papua Sarles Brabar, SE.MM yang telah berjuang keras membentuk 427 Kampung KB selama tiga tahun belakangan di 21 kabupaten/kota.

Dengan hadirnya Kampung KB, masyarakat membuka mata bahwa KB bukan soal alat kontrasepsi semata, bukan soal membatasi jumlah anak. Kampung KB menjadi pilot project yang tepat dimana semua instansi baik pemerintah maupun swasta bersinergi dan berkolaborasi membangun kampung itu di berbagai bidang, baik kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur. Program yang membuat keluarga Papua menjadi sehat dan mandiri dan sejahterah secara ekonomi.

Hal ini menegaskan kebenaran pernyataan Pembantu Rektor IV Universitas Cenderawasih Fredrik Sokoy, S.Sos. M.Si dalam Diskusi Terarah membahas pembangunan KB di Papua di SwissBell Hotel kemarin. Bahwa salah satu kunci keberhasilan KB di Papua adalah dimulai dari contoh atau praktik yang baik. Kampung KB itulah contohnya. Dengan Kampung KB, banyak orang Papua mulai menyadari pentingnya program ini bagi kesejahteraan mereka. Kecurigaan, ketakutan, yang berakar dari persepsi keliru tentang KB perlahan-lahan hilang karena mereka menyadari manfaat langsung program ini.

Tetapi apakah Hasto berhasil ke depan membangun KB di Papua? Waktulah yang akan menjawab. Ini hanyalah awal. Ya, awal yang baik. Setidak-tidaknya, Hasto sudah membuka mata hatinya untuk mendengar dan memahami kondisi kependudukan dan keluarga di Papua. Dan…. berani melepas kacamata Jakarta dan memandang Papua dengan kacamata orang Papua. Good, Hasto!

Gusty Masan Raya/Jurnalis, Mitra Media Perwakilan BKKBN Papua

Facebook Comments Box