Oleh Nasarudin Sili Luli*
DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan pemerintah sepakat untuk menunda penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020. Hal itu diputuskan dalam rapat di Komisi II DPR yang menghadirkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Ketua KPU Arief Budiman, Ketua Bawaslu Abhan, dan Plt.Ketua DKPP Muhammad.
Beberapa tahapan ditunda KPU mengingat pandemi Corona atau akrab dikenal Corono Virus Disease (Covid-19) yang kian hari kian mengkhawatirkan. Empat tahapan yang ditunda KPU adalah pelantikan panitia pemungutan suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan petugas pemutakhiran data pemilih, serta pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.
Padahal, hanya tinggal menghitung hari sirkulasi elite lima tahunan di 270 daerah digelar dalam tajuk pilkada serentak, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, akan digelar pada 23 September 2020. KPU telah mengeluarkan PKPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 yang kemudian direvisi dengan PKPU Nomor 16 Tahun 2019.
Sampai dengan saat ini presiden belum menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) terkait penundaan pilkada tersebut. Semestinya dalam keadaan dan suasana keterancaman jiwa masyarakat dan sendi-sendi kenegaraan saat ini, alangkah baiknya jika presiden menggunakan wewenangnya untuk menyatakan ‘keadaan bahaya’.
Syarat-syarat dan akibat ‘keadaan bahaya’ ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Sehingga bangunan yuridisnya lebih kuat dalam rangka menangani dan menanggulangi masifnya Covid-19.
Kalau ditinjau dalam pasal 12 UUD 1945 sebaiknya tidak harus dilihat dalam perspektif security approach, yang hanya sebatas dilihat darurat sipil, militer, dan perang, sehingga hanya menjadi keterbatasan dalam kerangka subjektivitas kepentingan politik kekuasaan. Namun harus juga dilihat dalam perspektif nonsecurity approach, seperti saat ini krisis Covid-19.
Penyebaran Covid-19 di Indonesia telah menunjukkan unsur keadaan bahaya. Yaitu pertama, adanya kepentingan yang mendesak dan memaksa untuk melakukan penanganan dan penanggulangan dengan ratusan korban yang terpapar serta puluhan warga meninggal dunia.
Kedua, ada unsur keterbatasan waktu bagi pemerintah untuk menangani dan menanggulangi, karena dengan jumlah penduduk dan luas wilayah Indonesia yang keberadaannya sebagai negara yang memiliki 17.504 pulau.
Ketiga, keadaan merupakan kebutuhan yang mengharuskan negara melakukan penyelesaian secara cepat, karena Covid-19 bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan di seluruh dunia.
Menurut WHO bahwa Covid-19 menyebabkan public health emergency of international atau kedaruratan kesehatan yang meresahkan dunia. Artinya dengan masifnya penyebaran Covid-19 di Indonesia dan dunia saat ini kemudian tidak ada alasan lain untuk menunda pilkada serentak tahun 2020.
Kondisi ini membuat hampir semua negara di dunia mengambil langkah yang sama yaitu berbagai kegiatan yang bersifat membangun interaksi sosial dibatalkan atau ditunda, termasuk pemilu. Terbukti, lebih dari 20 negara yang telah memutuskan penundaan pemilu sebagai dampak dari Covid-19 yang meliputi pemilu lokal, pemilu legislatif hingga referendum.
Sebut saja di Inggris. Pemilihan lokal di Inggris Raya, yang semula dijadwalkan untuk minggu pertama Mei 2020, pindah ke Mei 2021. Di Austria, pemilihan kota dan walikota di Vorarlberg yang awalnya dijadwalkan pada 15 Maret 2020, juga dituda.
Di Amerika Serikat, beberapa agenda politik juga ditunda. Antara lain, pemilihan primer di Ohio, Georgia, Kentucky dan Louisiana, AS yang dijadwalkan pada 17 Maret 2020; pemilihan lokal di Carolina Selatan pada April 2020; dan Pemilihan umum di Maryland yang dijadwalkan pada 28 April 2020.
Di Italia, Referendum untuk mengurangi jumlah kursi di parlemen yang semula dijadwalkan 29 Mei 2020 juga ditunda. Berbagai penundaan hajatan politik akibat wabah Covid-19 ini juga terjadi di Afrika Selatan, Perancis, Peru, Argentina, Spanyol, Iran, Sri Lanka, Chili, Paraguay, Kolombo dan Swiss.
Waktu penundaan beragam, mulai dari sebulan hingga setahun. Penundaan tersebut mencerminkan social distancing sebagai pilihan darurat utama yang mutlak harus ditempuh untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Untuk memperkuat bangunan yuridis keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sepakat untuk menunda penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2020, sebaiknya didahului dengan Keputusan Presiden mengeluarkan Perppu yang menyatakan bahwa negara dalam keadaan bahaya akibat Covid-19. Meskipun, KPU diberikan kewenangan diskresi dalam Pasal 120 UU Pilkada, dan bahkan diskresi itu diatur dalam UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Urgensi Kemanusian
Jumlah kasus infeksi virus corona di dunia terus mengalami peningkatan. Hingga Selasa (31/3/2020) pagi, lebih dari 190 negara telah mengonfirmasi terjangkit virus corona atau Covid-19.
Dilansir dari Worldometer, jumlah kasus virus corona di seluruh dunia telah mencapai 781.485 kasus. Dari jumlah tersebut, pasien yang sembuh tercatat sebanyak 164.726 orang. Sementara yang meninggal dunia sebanyak 37.578 orang.
Di Indonesia, jumlah kasus kasus positif virus corona per Selasa (31/3/2020) tercatat 1.528 kasus. Dari jumlah ini, sebanyak 81 orang berhasil sembuh dan 136 orang meninggal. Sungguh mengerikan.
Terkait pandemi Corona, siapa yang bertahan dan tidak mati, selain yang berhasil membangun imun tubuh, besar kemungkinannya adalah orang yang telah berhasil melakukan rekayasa genetika melalui vaksin yang membuat tubuhnya tahan penyakit.
Para ilmuwan harus mengambil peranan terbesarnya dalam penemuan vaksin. Intinya adalah kelangsungan hidup ras manusia di planet ini harus diselamatkan. Biarlah kiamat sebagai akhir hidup manusia di bumi adalah urusan Tuhan, bukan urusan corona atau covid 19 yang mewabah ini.
Singkat kata, pilkada serentak tahun 2020 merupakan agenda negara untuk sirkulasi elit lima tahun yang harus dilaksanakan, tetapi dengan kondisi dan siatuasi saat ini nilai kemanusia tidak boleh di kesampingkan.
Di tengah musibah selalu ada hikmah. Di tengah bencana, kita harus kerjasama. Kemanusiaan yang utama. Saya jadi teringat ungkapan Seneca, filsuf Italia, yang mengatakan “Siaomo onde dello stesso mare, foglie dello stesso albero, fiori dello stesso giardino” (kita adalah ombak di laut yang sama, dedaunan di pohon yang sama, bunga di taman yang sama). Maka kita tidak boleh berhenti berjuang untuk kemanusian.
*Penulis adalah Pemerhati Masalah Politik dan Sosial di Papua, Tinggal di Kabupaten Jayapura