Oleh dr. Hendrikus MB Bolly, M.Si, SpBS, AIFO-K*

PERLAHAN tapi pasti, jumlah kasus positif maupun jumlah kasus meninggal di Papua mulai menanjak. Segala daya upaya dari elemen pemerintahan dengan kebijakannya, tokoh-tokoh masyarakat dan adat terus diperkuat untuk mengendalikan laju infeksi virus mematikan penyebab Covid-19 ini.

Masih adanya resistensi sebagian kalangan masyarakat dengan masih menganggap “remeh” infeksi ini sedikit mulai luntur ketika mulai diberitakannya kasus kematian akibat infeksi ini di Papua. Itu pun masih saja ada yang tidak mengindahkan himbauan langkah-langkah pencegahan penyebaran virus di tengah masyarakat.

Pada tulisan ini penulis akan menyoroti peranan salah satu “pion” penting yang harus digerakkan, diberdayakan dan mulai bergerak dalam masa pandemik ini. Generasi milenial. Ya, anak milenial yang punya semangat. Anak milenial yang punya kreativitas. Mereka rata-rata memiliki telepon pintar (smartphone) yang mudah mengakses informasi apapun mengenai pandemik ini.

Anak milenial ini memiliki peran signifikan untuk menekan laju pertumbuhan dan penyebaran infeksi virus korona. Dengan kemudahan mengakses informasi melalui telepon genggam, maka sudah selayaknya mereka berperan juga di garda terdepan menyebarluaskan informasi yang vital mengenai pandemik ini. Setidaknya dimulai dari keluarga sendiri. Menerangkan kepada keluarga terdekat tentang apa dan bagaimana virus ini menyebar. Tentang langkah praktis mencegah penyebaran!. Tentang upaya melindungi diri sendiri dan memutus mata rantai penularan.

Anak muda milenial dalam keluarga dengan mudah memiliki akses terhadap informasi ini, maka dengan sedikit rasa kepekaan sosial atau  kepedulian, mereka tinggal bergerak untuk mulai menolong dan menopang keluarga sendiri lalu komunitas.

Dalam konteks ini, maka arahan dan peran pemerintah adalah menyediakan pilihan akses informasi yang valid dan up to date yang praktis dan bermanfaat. Tak dipungkiri bahwa saat ini “gelombang” informasi mengenai pandemik ini maha dasyat di berbagai media elektronik, pun sampai media sosial.  Maka tugas memilih, memilah dan menebar informasi sederhana namun bermanfaat adalah tugas sang pembuat kebijakan dan regulasi.

Konten informasi bermuatan lokal juga penting. Kesederhanaan konten informasi dan mudah diterima oleh masyarakat lokal menjadi salah satu prioritas. Hal lain yang juga penting adalah menggerakan kaum milenial ini agar tidak “misinfomasi”. Gerakan update informasi yang benar bagi kaum milenial ini dapat menjadi titik awal agar kemudian peran mereka sebagai corong informasi ke orang lain juga tidak salah- keliru.

Bagaimana Praktisnya?

Pertama, praktisnya adalah informasi yang benar itu hanya boleh keluar dari “satu pintu” pembuat infomasi. Pemerintah harus punya “elemen” pendaya tugas menerima, mengolah dan menyederhanakan informasi yang harus diberikan. Anak muda milenial ini harus menerima “pesan berantai” yang benar hanya dari satu pintu tersebut.

Maksud saya bukanlah mengkerdilkan peranan para pembuat berita, namun informasi edukasi terkait pandemik ini harus sampai kepada kaum milenial ini secara tepat, cepat dan akurat. Karena selanjutnya, merekalah yang akan mulai “menjadi corong” bagi keluarga terdekat, keluarga sedikit jauh, sahabat, teman hingga komunitas orang lain yang tidak dikenal di sekitarnya.

Dengan demikian, dengan hanya menerima dan menyebarluaskan informasi yang benar maka kaum milenial ini akan melindungi orang lain. Selain itu, dengan informasi yang benar nan praktis pun akan membantu dalam penjaringan, penemuan kasus hingga himbauan isolasi mandiri atau ke fasilitas kesehatan.

Kedua, mengapa kaum milenial? Karena mereka akan bertugas juga sebagai “superhero” untuk menghentikan penyebaran virus. Merekalah yang akan mulai menjadi “role model” cara  mencuci tangan yang benar, memberi contoh mengenai etika batuk, perilaku hidup bersih dan sehat dan tak kalah penting adalah sebagai pelaku dan pendukung himbauan “di rumah saja.”

Tinggal di rumah saja mungkin bukan hal yang mudah bagi kaum milenial. Tapi dengan melakukannya, maka kontribusi kaum muda milenial ini bermanfaat dalam memutus mata rantai penularan di luar rumah. Sekaligus, sebagai pendukung psikologis atmosfer hidup bersama keluarga yang juga penting.  Mungkin saja sudah banyak leaflet, foto, poster atau media edukasi lain yang sudah tersebar. Tapi dengan mempraktikan langsung di rumah oleh kaum muda milenial ini, setidaknya ada dua golongan orang yang akan menyaksikan, saudara (adik/kakak) dan orang yang lebih tua (orang tua, kakek/nenek).

Ketiga, mengapa kaum milenial? Karena mereka memiliki jiwa sosial yang tinggi. Menyisihkan sejumlah “uang donasi” untuk berkontribusi dalam pandemik ini sangatlah penting. Kekurangan alat pelindung diri yang terjadi dimana-mana, tentu menjadi perhatian serius semua orang saat ini. Menyebar luaskan kebutuhan dan kekurangan APD bagi tenaga kesehatan bahkan hingga melakukan upaya donasi dengan mudah dapat dilakukan oleh kaum milenial ini. Kenapa? Karena mereka memiliki smartphone  dan jiwa sosial yang tinggi.

Keempat, kaum muda milenial ini berperan dalam melawan “stigma” yang timbul terkait wabah ini. Salah satu musuh besar saat ini adalah stigma masyarakat non penderita terhadap penderita dan keluarga penderita. Penguatan dan pemberian infomasi yang benar tentu akan sangat membantu penderita dan keluarganya.

Sudah pasti bahwa ini adalah penyakit infeksi, bukan kutukan atau lainnya. Sudah pasti bahwa penyakit ini dapat sembuh dengan penanganan yang baik dan terarah. Sudah pasti bahwa ada korban yang meninggal karena infeksi ini. Tapi yang terpenting adalah memutus siklus hidup si virus, supaya semua orang tidak sakit setelah dihinggapi virus. Lebih daripada itu semua, aliran konten informasi yang baik untuk memberi penguatan kepada kaum terdekat (keluarga) tentu akan melawan dan meruntuhkan semua stigma negatif yang muncul akibat wabah ini.

Semua hal di atas menjadi sangat berpengaruh dalam mendukung komunitas dan pada akhirnya menyelamatkan nyawa manusia dalam konteks kesehatan.  Maka sekali lagi, penulis ingin menegaskan bahwa, kaum muda milenial ini akan berperan, paling tidak dalam hal membaca informasi terkini yang benar dari sumber terpercaya (WHO, Kemenkes, Dinkes), lalu bergerak mengedukasi keluarga, teman dan komunitas. Dan berlanjut ke aksi menjadi sukarelawan dan atau mencari serta memberikan donasi demi pengendalian wabah ini. Pada sebagian milenial, kemampuan kepemimpinan, kreativitas dan penjadi penggerak masyarakat adalah nilai tambah lebih yang dapat dimotori juga oleh mereka sendiri.

Jika nanti gerakan uji cepat deteksi dini virus mulai rutin dan banyak digunakan di berbagai daerah, maka sekali lagi, peranan anak muda milenial ini sudah pasti diharapkan menjadi yang terdepan.

Secara tidak langsung, penulis ingin menyentil moralitas dan kepedulian kaum muda milenial. Generasi yang saat ini telah menjadi saksi suatu wabah pandemik terbesar pada abad ini.

Generasi muda milenial bukan berarti tidak terkena dampak wabah ini secara langsung. Data USA Center for Disease Control and Prevention (CDC) mencatat bahwa 1 dari 5 orang yang dirawat di RS karena COVID-19 adalah berusia 20-44 tahun; 1 dari 8 orang muda tersebut juga dirawat di ruang ICU karena infeksi ini.

Kaum muda milenial juga tidak kebal imunitas dan beresiko terhadap virus corona. Risiko rendah pada kaum muda milenial bukan berarti tidak berisiko. Namun demikian, kebaradaan kaum muda milenial ini tentu memiliki dampak dan impak positif sebagai kontributor pengendali infeksi yang sangat penting.

Mari, wahai kaum milenial Papua, mari kita bahu-membahu melawan wabah ini. Selamatkan keluarga, selamatkan wilayah, selamatkan Papua, selamatkan negara, selamatkan dunia.

*Penulis Adalah Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih

 

Facebook Comments Box