Oleh dr. Hendrikus MB Bolly, M.Si., SpBS., AIFO-K*

PENCARIAN dan penegakan diagnosa pasti pasien terinfeksi virus corona terus gencar dilakukan. Uji cepat (rapid test) hingga pemeriksaan definitif menggunakan RT-PCR (Real Time Polymerase Chain Reaction) terus dilakukan. Namun beberapa minggu terakhir ini, santer terdengar kabar bahwa di beberapa tempat sedang berhenti sementara melakukan pemeriksaan PCR karena kehabisan “reagen´ pemeriksaan PCR. Tentu hal ini tidak diharapkan, di saat kita sedang gencar mencari, menemukan  kasus dan mengisolasi penderita Covid-19 yang sudah jelas positif.

Diagnosis pasti menjadi sangat penting  terkait jumlah sebenarnya pasien Covid-19. Buat pemerintah, jumlah pasti pasien Covid-19 berperan dalam penetapan regulasi dan kebijakan berskala nasional untuk mengendalikan penyebaran infeksi ini di Indonesia. Namun demikian, hasil RT PCR sesungguhnya tidak cukup. Kita memerlukan alat bantu diagnosis  yang mampu memberi peluang kebijakan jangka panjang dan masa depan yang lebih  baik terkait pengendalian infeksi virus Corona ini.

Saat ini, beberapa ahli di Amerika berhasil mempublikasikan suatu karya penelitian yang sangat penting terkait diagnosis virus penyebab Covid-19 ini.  Adalah ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), yang merupakan metode pemeriksaan serologis.

 

Apa Itu ELISA?

ELISA   bukan lah teknologi yang benar-benar baru, namun penggunaan ELISA untuk kepentingan diagnosis virus corona saat ini menjadi sangat penting.  Hasil pemeriksaan ELISA memiliki keunggulan dalam survey serologis. Artinya, hasil pemeriksaan ELISA bisa mendeteksi keadaan infeksi virus corona pada beberapa kondisi sekaligus.

Hasil ELISA akan memberitahukan, apakah seorang tersebut berada dalam keadaan akut (baru saja terkena virus), telah terinfeksi namun ringan, terinfeksi namun tanpa gejala, terinfeksi kronis atau re-infeksi (terinfeksi kembali). Hasil ELISA mampu memberitahu kita, angka sesungguhnya yang terinfeksi dan jumlah terinfeksi yang fatal dalam suatu populasi. ELISA memberitahu kita hasil kualitatif dan kuantitaif sekaligus.

 

Apa Kelebihan ELISA?

Uji cepat mendeteksi antigen (milik virus) atau antibody (milik manusia), RT PCR mendeteksi materi genetik (RNA, milik virus), tapi ELISA mendeteksi antibody (milik host, atau manusia). Perbedaan mendasar uji cepat yang mendeteksi antibody dengan ELISA adalah pada uji cepat antibody menggunakan metode imunokroatografi. Hasil uji cepat antibody yang non reaktif tidak berarti orang tersebut terbebas sama sekali dari infeksi virus corona. Dan bahkan, masih mungkin memiliki risiko menularkan ke orang lain. Setelah uji cepat antibody dengan hasil non-reaktif, pasien masih harus menjalani pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali, selama 2 hari berturut-turut.

Deteksi virus Cov-2 dengan metode RT PCR memang memiliki spesifitas dan sensitivitas tinggi, namun hanya mampu mendeteksi virus pada  fase akut infeksi. Meski RT PCR saat ini memang digunakan secara global untuk deteksi viruas corona, namun tidak mampu menyediakan informasi mengenai individu  yang pernah terinfeksi dan yang telah memiliki kekebalan (antibody) terhadap virus corona.

ELISA akan mendeteksi antibody di dalam darah seseorang. Artinya, jika positif maka antibody orang tersebut telah pernah bereaksi terhadap material kuman pathogen yang pernah masuk ke dalam tubuh orang tersebut. Berbeda dengan RT-PCR untuk deteksi virus Cov-2; RT PCR hanya akan menyatakan kepada kita tahap paling awal dari sebuah infeksi virus termasuk virus Corona Cov-2 ini.

Alat deteksi PCR yang telah ada saat ini bukanlah tidak penting, hanya saja ELISA menjanjikan suatu kelebihan yang lain. Prediksi data pasien Covid-19 berdasarkan hasil PCR sekarang menjadi sangat luas, karena kita harus menelusuri riwayat kontak orang positif tersebut dengan orang lain. Hal ini memakan waktu, menguras energi, sumber daya dan keuangan. Hal ini juga berbuah keputusan regulasi massal untuk  menjaga jarak fisik dan sosial hingga  “lockdown” suatu wilayah.

Jika nanti ELISA telah siap dan luas digunakan, maka hasil pemeriksaannya akan mengindikasikan berapa besar populasi yang telah membentuk antibodinya terhadap virus Corona hanya karena infeksi ringan (tak bergejala). Data antibodi sesuai hasil ELISA ini akan memberitahukan kita, seberapa cepat virus ini bisa menyebar kemudian hari. Dengan demikian, nantinya kita tidak hanya mengenal “cluster” sumber infeksi, namun juga “cluster” yang telah terbentuk antibody terhadap virus corona.

Informasi ini kemudian menjadi dasar keputusan politis para pimpinan wilayah untuk menggiatkan kembali roda “kehidupan” dan perekonomian.  Bahkan, mulai dari sekedar keputusan untuk membuka kembali sekolah, membiarkan orang kembali beribadah di tempat ibadah, atau bekerja di kantor, dan seterusnya. Tentunya ini adalah harapan yang menjadi impian semua orang sekarang ini. Lebih dari itu semua, hasil ELISA akan memberikan informasi penting bagi peneliti di seluruh dunia, mengenai status imunitas terakhir. Hal ini menjadi kunci pengembangan vaksin yang akan datang.

Percobaan terbaru pada hewan mamalia primata (kera) menunjukan bahwa sekali hewan tersebut terinfeksi, maka akan terbentuk antibody, yang akan melindungi dirinya dari keadaan re-infeksi. Jika mekanisme ini juga sama dengan manusia, maka sekali manusia terinfeksi dan terbentuk antibody, orang tersebut kemudian akan menjadi kebal dan tidak menularkan virus ke orang lain.

Sebagai contoh pada tenaga kesehatan, jika mereka telah kebal terhadap COVID-19 maka mereka akan memiliki risiko yang kecil untuk menularkan virus ke tenaga kesehatan lainnya, ke pasien lain atau bahkan ke keluarganya sendiri. Dengan dasar ini lah maka terapi terbaru yang dikenal sebagai terapi plasma konvalesen  menjadi sangat menjanjikan. Nah terkait hal ini juga, hasil ELISA menjadi sangat penting untuk mengindetifikasi donor plasma yang potensial.

Kembali ke ELISA. ELISA akan mendeteksi suatu protein khusus di permukaan virus, yang dikenal sebagai protein Spike (S). Protein ini sebenarnya bekerja layaknya jembatan yang memediasi penempelan virus ke sel tubuh manusia melalui suatu reseptor. Sekali menempel, maka virus akan memasukan materi genetiknya  melalui membran sel ke dalam sel manusia, lalu mulai memperbanyak diri di dalam sel manusia bersamaan dengan mengaktifkan kondisi sakit yang seperti kita kenal saat ini. Begitu berat dan mengancam nyawa pasien yang terinfeksi.

Nah, antibody yang berasal dari tubuh manusia, berperan sebagai pertahanan melawan kehadiran sang virus. Sekali antibody terbentuk terhadap protein spike tadi, maka antibody tersebut akan menetralkan kerja si virus corona.  Lebih dari itu, jika antibody telah terbentuk maka reaktivitas serum darah yang diperiksa akan sangat sedikit bereaksi atau bahkan tidak bereaksi terhadap pemeriksaan ELISA. Dengan demikian, akan sangat mudah membedakan mana orang yang telah terpapar tapi bertahan dan mana yang benar-benar baru terinfeksi virus.

Saking pentingnya informasi yang disediakan dari hasil pemeriksaan ELISA ini, saat ini sudah banyak ahli yang mengembangkan berbagai usaha percepatan, peningkatan validitas dan kemampuan pemeriksaan ELISA ini. Hasil pemeriksaan ELISA tentu akan menunjukan kepada tenaga kesehatan, apakah seseorang telah pernah terinfeksi Corona dan dalam tubuh orang tersebut telah mampu membentuk antibody untuk melawan si virus atau seseorang baru saja terinfeksi secara aktif saat diperiksa. Informasi ini sangat penting untuk menghitung jumlah kasus real,  dan terlebih penting adalah mengetahui individu yang pernah terinfeksi dan telah menjadi kebal.

Meski sekarang kit pemeriksaan ELISA  untuk  virus Corona ini masih belum beredar luas, namun para ahli percaya bahwa dalam waktu yang tidak lama lagi, pemeriksaan ini dapat dimanfaatkan luas dengan segera. Saat ini para ahli terus mengembangkan metode diagnostik ini agar benar-benar spesifik hanya bereaksi terhadap virus corona CoV-2 ini. Sejauh ini, antibody yang terbentuk telah mampu mendeteksi secara baik protein NL63, yaitu protein yang juga berasal dari virus golongan corona, mirip protein “spike”  namun beda spesies. Para ahli berusaha agar jika kit ELISA yang dikembangkan nanti, benar-benar hanya bereaksi terhadap Cov2 bukan NL63, sehingga pembacaan hasil tidak menjadi false positive atau “pura-pura” positif, padahal sesungguhnya negatif.

Jika nanti ELISA telah digunakan luas, dan spesifik hanya untuk virus Corona Cov 2 ini, maka impian menolong penderita positif akut dengan plasma “mantan penderita” Covid yang telah sembuh dan terbentuk antibody akan mudah tercapai.

Sebagai contoh , pada tahun 2015, pemerintah Arab Saudi melakukan survey serologis untuk mendeteksi infeksi virus corona MERS. Survey serologis tersebut dilakukan dengan menambil sampel 10.000 orang di negara tersebut. Dari jumlah tersebut, ternyata ada 15 orang yang diketahui telah memiliki antibody  anti-MERS; dimana dari data tersebut, para ahli kemudian melakukan ekstrapolasi data dimana diperkirakan bahwa ada sekitar 45.000 orang di negara tersebut yang telah ter ekspos virus MERS tersebut.

Dengan melakukan uji serologi massal menggunakan metode ELISA ini, maka ahli kesehatan akan mengetahui data pandemik ini yang sesungguhnya dan berapa besar populasi yang telah memperoleh imunitas. Meski infeksi virus corona Cov-2 ini masih baru, dan para ahli pun belum banyak mengetahui pola infeksinya, namun dengan menggunakan pendekatan yang sama dengan contoh MERS tadi, paling tidak secercah harapan terkait prediksi akhir pandemik berakhir dapat dikalkulasi.

*Penulis Adalah Dosen Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Cenderawasih Jayapura

Facebook Comments Box