Oleh Gerson Andrew Warnares, M.Med., M.Phil*
PENYEBARAN VIRUS CORONA di Provinsi Papua telah memasuki bulan ketiga sejak kasus pertama ditemukan di Merauke pada medio Maret 2020. Hingga kini, tercatat sudah 14 Kabupaten di Provinsi Papua yang terkonfirmasi memiliki pasien covid-19. Dari data Dinas Kesehatan Provinsi Papua, sampai tanggal 7 Juni 2020, terdapat 1.065 akumulasi kasus di Provinsi Papua, dimana kasus tertinggi terjadi di Kota Jayapura dengan 536 kasus, disusul oleh kabupaten Mimika di posisi kedua dengan 291 kasus. Bila dibuat grafik angka pertambahan jumlah pasien, maka Kabupaten Mimika dan Kota Jayapura masih menunjukan grafik yang terus meningkat sepanjang bulan April dan Mei 2020.
Kasus-kasus yang muncul di Provinsi Papua jelas bukan dari transmisi antardaerah karena pemerintah daerah bersepakat telah menutup bandara dan pelabuhan sejak 26 Maret 2020. Kasus-kasus ini muncul dari transmisi atau penularan lokal yang tidak tertangani dengan baik. Walaupun pemerintah terlihat sangat serius dengan strategi penutupan jam aktifitas, tapi nyatanya angka penyebaran covid masih terus meningkat di beberapa kabupaten.
Penulis tidak akan membahas tentang hal ini karena dalam tulisan sebelumnya melalui media ini telah menguraikan strategi pembatasan jam aktivitas (red: https://papuabangkit.com/2020/05/19/pembatasan-aktivitas-warga-efektifkah-bagi-pengendalian-covid-19-di-papua/). Kebijakan ini pun akhirnya diubah forkopimda, dan aktivitas diijinkan hingga pukul 18.00 WIT.
Di tengah seluruh perubahan kebijakan dan strategi yang diterapkan, muncul gagasan untuk menurunkan tensi pembatasan sosial skala besar dan digantikan dengan penerapan New Normal atau normal yang baru oleh presiden Joko Widodo. Pekerja dan pelajar akan mulai beraktifitas seperti semula dengan memperhatikan protokol pencegahan infeksi. Ekonomi merupakan salah satu alasan yng kuat mengapa new normal ini perlu untuk diterapkan.
Pertanyaannya, apakah Provinsi Papua siap dengan tatanan normal yang baru? Apakah saat ini tepat diterapkan tatanan normal yang baru? Apakah normal yang baru akan menjadi jawaban dari kekhawatiran dari seluruh rakyat Papua? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penting bagi kita mengetahui lebih dulu keadaan seperti apa yang ideal, agar penerapan new normal justru tidak menimbulkan gelombang infeksi baru yang makin memperparah keadaan pandemi covid 19.
Menurut Dr. Mike Ryan Direktur Eksekutif Program Darurat WHO dalam artikel 6 syarat penghentian lockdown coronavirus, tidak ada yang dapat menggantikan pembatasan sosial atau lokcdown, tetapi bila keadaan sudah membaik maka PSBB dapat menurun menjadi tatanan normal baru. Lagi menurut WHO, ada enam (6) syarat yang harus dipenuhi sebelum new normal diterapkan. Syarat-syarat ini berkaitan dengan resiko gelombang penularan dan juga mempertimbangkan kondisi layanan kesehatan di suatu wilayah.
Syarat pertama, dan menurut saya yang terutama adalah penularan penyakit terkendali. Angka penularan penyakit dipengaruhi banyak faktor, beberapa di antaranya adalah jumlah tes yang dilakukan, pengawasan oleh pemerintah dalam penerapan pembatasan fisik plus penggunaan masker dan kepatuhan masyarakat. Dipandang dari sudut penularan penyakit, secara umum dalam dilihat bahwa di Papua, pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota masih memiliki pekerjaan rumah yang besar, khususnya di daerah yang padat penduduk seperti Kota Jayapura dan Mimika. Pada dua daerah ini, Â jumlah infeksi baru belum berhasil untuk dikendalikan. Hal ini terlihat dari jumlah angka infeksi baru yang ada setiap minggunya, dimana tanggal 6 Juni tercatat 108 kasus baru di Kota Jayapura. Artinya, di dua daerah transit penting di Provinsi Papua ini kita, belum berhasil mengendalikan penularan infeksi.
Infeksi baru disebut terkendali bila angka infeksi baru bisa ditekan sampai nol atau minimal kurang dari 5 dalam beberapa minggu. Bila kita melakukan perhitungan poin prevalensi, maka ada 2 daerah di Papua yang angka poin prevalensi per 100 ribu penduduknya berada jauh di atas Kota Surabaya (episentrum kedua setelah Jakarta dengan poin prevalensi 94). Kedua daerah ini yaitu Kota Jayapura (poin prevalensi 173) dan Kabupaten Mimika (poin prevalensi 130).
Dilihat dari data kepadatan penduduk BPS, kemungkinan transmisi yang terjadi di dua wilayah ini juga dipengaruji oleh jumlah kepadatan yang tinggi. Kota Jayapura 315 orang/km2 sedangkan Mimika : 95.5 orang/km2. Walaupun Jayawijaya yang merupakan daerah ketiga terpadat (93 orang/km2), angka covidnya masih jauh di bawah kedua daerah di atas.
Oleh karena itu, penyebaran infeksi harus menjadi perhatian sangat penting di seluruh Papua khususnya di daerah padat penduduk. Jangan lagi blunder dengan meningkatkan kepadatan wilayah dengan pembatasan jam. Sampai saat ini, kabupaten lain di Papua dapat mengendalikan penyebaran infeksi dan memenuhi syarat pertama, bila memang jumlah tes yang dilakukan proporsional.
Nah, apa yang harus dilakukan pemerintah agar syarat pertama dapat terpenuhi, maka tes massal menjadi jawabannya. Transmisi akan berakhir ketika semua orang yang terinfeksi, baik yang bergejala atau pun tidak dapat ditemukan, dikarantina dan diobati. Pada semua penyakit menular, terutama penyakit menular lewat udara dari manusia ke manusia, tes adalah modalitas utama dalam penanggulangan pandemi. Tanpa tes massal maka gerilya virus akan tetap berada di bawah radar.
Di samping itu, peran serta semua masyarakat untuk patuh dalam menjaga jarak dan menerapkan protokol pencegahan dengan menggunakan masker dan rajin mencuci tangan sangat berpengaruh. Sayangnya, hal ini sulit dikendalikan kecuali pemerintah turun tangan untuk mengawasi karena masyarakat kita tidak disiplin ketika tanpa pengawasan terhadap mereka.
Syarat kedua adalah sistem kesehatan dapat mendeteksi, menguji, mengisolasi, serta menangani setiap kasus dan melacak setiap kontak. Â Hal ini terkait dengan syarat pertama yaitu pengendalian infeksi. Semakin lama kita menunda untuk mendeteksi, mengisolasi pasien dan kontak, maka semakin lama pula infeksi dapat ditekan dan ditangani.
Sayang ini, hingga kini, hanya ada beberapa kabupaten/kota di Papua yang telah mencoba untuk melakukan tes massal. Kebanyakan tes hanya dilakukan dengan indikasi, tidak dilakukan serentak dengan berbagai macam alasan dan kendala. Padahal tes adalah senjata kita menangani infeksi menular apalagi berkaitan dengan airborne diseases atau penyakit menular melalui udara. Perlu diketahui infeksi yang menyebar melalui udara tidak bisa dikendalikan dengan usaha lain misalnya penyemprotan. Karena wabah ini sifatnya berbeda dengan penyakit lain yang bisa dikendalikan penyebarannya dengan penyemprotan seperti Demam Berdarah.
Syarat ketiga adalah risiko zona merah diminimalkan di tempat-tempat rentan, seperti panti jompo (tulisan asli dari direktur WHO). Pernyataan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Tempat risiko zona merah dalam hal ini, WHO mengambil contoh panti jompo itu karena di negara-negara berkembang dimana orang-orang tua (yang miliki imunitas yang mulai menurun) ditempatkan di panti jompo. Kondisi sebagai manula dan mungkin memiliki penyakit komorbid (baca: penyerta) misalnya diabetes, hipertensi, dll membuat kumpulan orang-orang tua ini rentan terhadap infeksi covid 19.
Sedangkan di Papua, dimana banyak orang tua tidak dirawat di panti jompo maka tempat beresiko yang akan menjadi zona merah adalah daerah pasar dan toko serta tempat keramaian. Pertanyaannya adalah bagaimana meminimalisir resiko di tempat-tempat tersebut? Apakah cukup dibagikan masker dan dibuatkan tempat cuci tangan? Jawabannya adalah tidak! Walaupun inisiatif-inisiatif ini harus diapresiasi namun hal ini tidak cukup. Terbukti hingga saat ini daerah pasar masih menjadi tempat beresiko.
Harus ada pengawasan yang ketat, harus diberikan pemahaman dan edukasi bagi masyarakat yang mengakses tempat-tempat umum yang beresiko menjadi zona merah. Â Tapi sayangnya hanya pihak swasta yang sadar, sehingga di mall dan toko besar saja dilakukan pengawasan penggunaan masker dan cuci tangan, sedangkan di pasar-pasar belum ada usaha yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun pengelola pasar. Tidak mengherankan bila pasar menjadi tempat penularan yang baik bagi Covid-19.
Syarat keempat adalah sekolah, tempat kerja dan ruang-ruang publik lainnya telah menetapkan langkah-langkah pencegahan. Bila dianalisa lebih lanjut, syarat keempat ini tidak sulit bila ketiga syarat sebelumnnya dapat dipenuhi. Artinya, syarat ini merupakan syarat tatanan normal setelah kondisi pandemi dapat diatasi. Syarat keempat ini membutuhkan komitmen dari masing-masing pimpinan instansi dan pengelola tempat umum, mungkin dibutuhkan juga perjanjian diatas kertas agar ada efek kejut dan takut bagi para pimpinan dan pengelola.
Syarat kelima adalah dapat mengelola risiko mengimpor kasus baru. Kita patut bersyukur pemerintah Papua berani untuk menutup akses bandara dan pelabuhan sejak 26 Maret 2020, namun penutupan ini bukan merupakan senjata pamungkas. Sesungguhnya senjata pamungkas impor kasus baru adalah dengan mengelola para migran (orang yang datang ke Papua baik menetap atau sementara) agar resiko kasus kiriman akan berkurang dengan signifikan.
Penulis tidak akan membahas lebih jauh tentang hal ini, tapi akan ditulis dalam tulisan yang berbeda. Tapi intinya, pemerintah harus memiliki strategi dalam meminimalisir infeksi kiriman dari luar Papua. Ingat, virus ini tidak bisa membawa dirinya sendiri dan belum terbukti dapat dibawa hewan, sehingga manusialah yang dapat memindahkan virus dari satu daerah ke daerah lain. Dan lebih jauh, pemerintah tidak mungkin menutup akses selamanya sehingga harus ada strategi khusus yang dilakukan pemerintah dalam menangani jalur masuk ke Papua.
Syarat yang keenam atau yang terakhir adalah masyarakat harus sepenuhnya dididik, dilibatkan, dan diberdayakan untuk hidup di era New Normal. Syarat ini terdengar mudah, tapi melihat dari fakta di lapangan bahwa tidak mudah membuat masyarakat memakai masker dan menjaga jarak, dan budaya masyarakat yang cenderung tidak taat bila tidak diawasi, maka hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam mengedukasi, mendidik, dan memberdayakan masyarakat dalam penerapan normal baru.
Hemat penulis, pemerintah perlu meminta bantuan semua pihak, mulai dari Ketua rukun tetangga (RT) untuk terlibat dalam usaha ini. Kenapa RT? Karena jumlah masyarakat di tiap RT lebih kecil dari kelurahan sehingga mempermudah penyebaran informasi dan setiap wilayah pasti punya ketua RT. Keterlibatan mahasiswa kesehatan dan masyarakat yang peduli juga sangat penting dalam penyebaran informasi di era digital ini, selain media massa. Selain itu, keterlibatan tokoh-tokoh agama juga dapat menjadi strategi kearifan lokal di Papua agar dapat membuka pemahaman masyarakat di Papua yang sejak dulu terkenal terbuka, toleran, ramah dan erat dengan pendekatan keagamaan.
Keenam syarat di atas adalah fondasi agar kita dapat beranjak ke tahap berikut yaitu tatanan normal baru yang dicanangkan Presiden Jokowi. Bila kita tidak ingin berlarut-larut dalam pembatasan sosial ini, maka kita harus bergerak cepat, tepat dan cermat dalam menanggulangi infeksi covid 19. Strategi yang diterapkan jangan lagi asal-asalan dan membabi buta, tetapi harus penuh perhitungan, berbasis bukti dan berorientasi pada hasil, tanpa mengesampingkan kearifan lokal. Bila kita terus mengulur waktu maka infeksi yang menyebar dapat menimbulkan kepanikan dan masalah baru di masa depan.
Jadi kembali pada pertanyaan di awal, apakah Provinsi Papua siap dengan new normal atau tatanan normal yang baru? Apakah saat ini tepat diterapkan tatanan normal yang baru? Apakah normal yang baru akan menjadi jawaban dari kekhawatiran dari seluruh rakyat Papua.
Jawabannya adalah masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan pemerintah. Pemerintah juga perlu bekerja ekstra keras dan menerapkan strategi yang lebih baik sebelum penerapan tatanan normal baru itu, salah satunya belajar dari daerah atau negara yang telah berhasil menangani covid-19. Di samping itu, dukungan masyarakat dengan sikap disiplin menjalakan protokol kesehatan adalah tiang utama. Oleh karena itu, mari kita bahu-membahu mendukung pemerintah daerah di Provinsi Papua untuk menyiapkan diri menyambut new normal itu. Sa Jaga Ko Ko Jaga Sa, Kitorang Semua Selamat.
 *Penulis Adalah Pembantu Dekan I Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura