Franklin Numberi, ST

 

 

 

 

 

 

 

 

 

JAYAPURA (PB.COM)–Wakil Ketua I pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, Franklin Numberi, ST, mempertanyakan dan memprotes keras pemberhentian sementara dirinya sebagai anggota legislatif.

Dalam keterangannya kepada wartawan di Jayapura, Kamis (09/12/2021), kader partai Golkar ini mengatakan, proses pemberhentian dirinya sarat kepentingan politik yang sangat curang.

Franklin sudah dua periode menjabat sebagai anggota legislatif dan menduduki kursi Wakil Ketua di DPRD setempat. Ia diberhentikan hanya dengan dasar surat Bupati Kepulauan Yapen, Tonny Tesar, S.Sos yang ditujukan kepada Biro Hukum Pemerintah Provinsi Papua. Lalu, Biro Hukum Papua mengeluarkan SK untuk memberhentikan sementara dirinya.

“Saya diberhentikan sejak bulan Maret 2021 dan hanya dapat gaji pokok dari Sekretaris Dewan. Sementara hak-hak lain tidak saya peroleh. Ini pembunuhan karakter. Saya merasa dirugikan oleh Pemkab Yapen yang menyurati Biro Hukum Papua sehingga keluar SK pemberhentian sementara. Dan proses ini tidak wajar,” kata Franklin.

Menurut Franklin, pemberhentian seorang anggota DPRD harus ada dasar dan mekanisme yang sudah diatur dengan UU. Yang pertama, harus ada surat dari partai dalam hal ini DPP Partai Golkar. Kedua, harus ada surat pada DPRD dan dibahas oleh badan kehormatan dewan dalam paripurna. Dari paripurna itulah dewan mengajukan pada Pemkab  untuk diteruska pada Biro Hukum  Provinsi Papua.

“Tapi kan sampai saat ini, proses itu tidak pernah dilakukan. Parpol juga tidak pernah menyurat untuk ada pemberhentian sementara saya dari kursi DPRD Kabupaten Kepulauan Yapen. Ini aneh, hanya surat bupati bisa berhentikan saya sebagai anggota dewan. Kalau dasar surat bupati bisa memberhentikan DPR sementara di Yapen, maka semua DPR di negara ini bisa diberhentikan sementara oleh Bupati atau kepala daerah. Ini aneh dan Cuma terjadi di Yapen,” tegas Franklin.

Pada kesempatan itu, ia juga mempertanyakan dasar hukum dari Biro Hukum Provinsi Papua yang tiba-tiba mengeluarkan SK pemberhentian dirinya dari Waket I DPRD, dengan hanya berdasar pada surat dari Bupati Kepulauan Yapen, Tonny Tesar.

“Ya ini saya merasa sangat dirugikan hanya menerima gaji pokok sebagai anggota DPR, sementara hak lainnya dicabut hanya dengan dasar surat Bupati ke Biro Hukum Pemprov Papua. Tak ada dasar surat partai dan paripurna badan kehormatan dewan, tiba-tiba ada surat dari Biro Hukum Pemprov Papua memutuskan saya diberhentukan sementara. Lalu Bupati memerintahkan Sekwan agar hanya membayar gaji pokok saya,” tuturnya.

Franklin menguraikan, soal SK Pemberhentian sementara pun sampai saat ini belum dirimanya dari Pemda Kepulauan Yapen atau dari Sekwan. Justru SK yang diterimanya berasal dari Biro Hukum.

“Itupun harus dengan marah-marah terlebih dahulu baru saya terima surat itu,” sambung Franklin.

Ia berharap, Gubernur Papua dan Biro Hukum Provinsi Papua agar bisa memperhatikan hal ini. Jangan lagi malah membuat orang asli Papua seperti dirinya, yang sudah berupaya bekerja dengan baik, justru menderita dan dicurangi seperti ini.

“Saya bukan koruptor atau pemakai narkoba dan lainnya. Saya cuma ingin memperjuangkan hak saya sebagai tuan di tanah sendiri. Surat Bupati pada Gubernur dalam hal ini Biro Hukum ini, pak Gubernur tahu atau tidak. Jangan sampai ada kongkalikong antara Bupati Yapen Tonny Tesar dan Biro Hukum provinsi Papua,” kesalnya.

Ijazah Sah, 2 Kali DPRD
Franklin tak menampik jika pemberhentian ini terkait dugaan kepemilikan ijazah palsu yang dituduhkan kepadanya. Tetapi herannya,  kasus ini masih dalam proses hukum di pengadilan dan belum ada vonis hakim yang berkekuatan hukum tetap.

“Lebih aneh lagi, saya ini kan sudah dua periode menjadi anggota DPRD Yapen. Periode pertama ijazah saya pun tidak ada masalah. Bawaslu Papua saat proses pencalegan pun telah memverifikasi dan memutuskan ijazah tersebut adalah sah,” kesalnya.

“Ini kan sudah ada putusan Bawaslu bahwa sah dan saya tidak bersalah sehingga bisa dicalonkan menjadi anggota DPRD Kepulauan Yapen. Ini Sudah ada putusan yang dilampirkan. Saat itu Bawaslu Papua turun langsung menyidangkan dan hasilnya saya tidak bersalah. Lalu sekarang saya diberhentikan sementara itu dasarnya apa. Vonis hakim belum ada, surat dari parpol pun belum ada. Yang ada justru hanya surat bupati memberhentikan saya dan bisa dieksekusi. Ini kan sangat aneh dan baru terjadi di NKRI ini,” sambung Franklin.

Apalagi, kata Franklin, kasus laporan dugaan ijazah palsu kepadanya itu sangat sarat kepentingan. Dimana pada persidangan di Pengadian Serui, saudara Steven Arebo yang melaporkan dirinya tentang dugaan ijazah palsu di Polda Papua itu sudah mengaku dalam persidangan bahwa dirinya hanya disuruh oleh Norman Banua, yang merupakan anak bupati Kepulauan Yapen Tonny Tesar.

Ini permainan apa, Norman Banua yang juga merupakan sesama anggota DPRD Kepulauan Yapen dari Partai Golkar. Ini kan hanya karena ingin menduduki jabatan saya sebagai Wakil Ketua I di DPRD Kepulauan Yapen. Saya ini kader Golkar tulen, Norman Banua itu hanya baru kemarin dititipkan masuk di Golkar,” ungkapnya.

Franklin meminta Gubernur Papua dan semua pihak terkait bisa menaruh perhatian dan memberikan keadilan buatnya. Sebab, dia menyebut semua proses yang menimpanya sarat kecurangan.

Tak hanya itu, Franklin juga mengaku heran karena dalam sejarah  baru ada jabatan Pelaksana Tugas dalam legislatif, yakni Pelaksana Tugas Wakil Ketua I di DPRD Kepulauan Yapen.

“Bapa Gubernur sebagai pemimpin orang Papua juga harus mengetahui perilaku seperti ini. Tanpa kesalahan apapun, tiba-tiba ada SK dari Biro Hukum memberhentikan saya. Ini membunuh karakter kita orang asli Papua. Kalau saya bersalah maka saya sendiri siap dengan sadar mengundurkan diri sebagai anggota dewan. Jangan terkesan, di kabupaten Kepulauan Yapen ini seorang bupati bisa seenaknya berbuat semaunya. Tolong jangan bodohi masyarakat untuk kepentingan tertentu,” tegas Franklin Numberi. (Gusty Masan Raya)

Facebook Comments Box