Koordinator MRP Se-Wilayah Papua, Agustinus Anggaibak, S.M saat mennyerahkan Surat Permohonan kepada anggota KPU RI di Jakarta.

NABIRE (PB.COM)—Upaya Majelis Rakyat Papua (MRP) di enam provinsi di Tanah Papua untuk memperjuangkan hak politik Orang Asli Papua (OAP) dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 di tingkat kabupaten/kota belum juga berhenti. Terbaru, Asosiasi MRP Se-Wilayah Papua mengajukan Permohonan Perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No 2 Tahun 2024.

Dalam surat yang ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) tertanggal 17 Mei 2024, Asosiasi MRP Se-Wilayah Papua meminta agar dalam pemilihan bupati dan walikota 2024 di seluruh Tanah Papua, harus ada aturan khusus terkait kriteria calon bupati/calon wakil bupati dan calon walikota/calon wakil walikota yakni hanya harus Orang Asli Papua (OAP).

Surat permohonan itu ditandatangani oleh Agustinus Anggaibak sebagai Koordinator Asosiasi MRP Se-Wilayah Papua yang juga Ketua Majelis Rakyat Papua Tengah dan Judson Ferdinandus Waprak sebagai Sekretaris MRP Se-Wilayah Papua yang juga Ketua Majelis Papua Barat. Keduanya bertindak sebagai Pemohon.

Koordinator MRP Se-Wilayah Papua, Agustinus Anggaibak, S.M (paling kanan) bersama anggota KPU RI.

Juga terdapat empat anggota Asosiasi MRP Se-Wilayah Papua yang merupakan masing-masing pimpinan MRP lainnya yang sama bertindak sebagai pemohon, yakni Ketua Majelis Rakyat Papua Nerlince Wamuar, Ketua Ketua Majelis Rakyat Papua Barat Daya Alfons Kambu, Ketua Ketua Majelis Rakyat Papua Pegunungan Agus Nikilik Hubi, dan Ketua Ketua Majelis Rakyat Papua Selatan Damianus Katayu.

Dalam surat yang diterima redaksi Papuabangkit.com, adapun sejumlah alasan Pemohon mengajukan permohonan ini ke KPU RI. Pertama, bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua lahir dari rasa ketidakadilan bagi Orang Asli Papua atas kebijakan-kebijakan negara yang berlakukan di wilayah Papua. Aspirasi ketidakadilan Orang Asli Papua disampaikan secara langsung kepada pemerintah Pusat dan sebagai jawaban dari aspirasi dimaksud, pemerintah pusat memberikan opsi otonomi khusus sebagai jalan tengah (win-win solution).

Roh dan prinsip Otsus adalah memberikan proteksi atas hak-hak dasar Orang Asli Papua yaitu hak politik, hak ekonomi, hak atas pekerjaan yang layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak mendapat penghidupan yang layak, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Dengan demikian, lahirlah Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultur dan budaya Orang Asli Papua yang diberi tugas dan wewenang untuk memberi pertimbangan dan persetujuan atas kebijakan-kebijakan otonomi khusus di wilayah Papua. Meskipun, tugas dan kewenangan dimaksud terbatas dan tidak dapat memberikan ruang yang leluasa kepada Majelis rakyat Papua untuk memperjuangkan proteksi atas hak-hak dasar OAP.

Kedua, bahwa sebagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang dilaksanakan di tingkat provinsi, Undang-Undang Nomor 2 tahun sudah memberikan kewenangan sepenuhnya kepada kabupaten/kota. Meskipun demikian, hak politik Orang Asli Papua, dimana Bakal Calon Bupati/Wakil Bupati dan Bakal Calon Walikota/Wakil Walikota harus Orang Asli Papua belum diatur seperti kiteria Bakal calon  Gubernur dan Wakil Gubernur harus Orang Asli Papua dalam ketentuan Pasal 20 ayat 1, huruf  a, dan penjelasan Pasal 20, huruf e, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021. Seharusnya dalam hal Bakal Calon Bupati/Wakil Bupati dan Bakal Calon Walikota/Wakil Walikota, MRP diberikan tugas dan wewenang yang sama seperti proses pencalonan Bakal Calon Gubernur/Wakil Gubernur.

Ketiga, bahwa Pemohon dengan berbagai pertimbangan strategis sebagai bagian dari  tercapainya prinsip dasar Otonomi Khusus Papua yaitu keberpihakan dan perlindungan Orang Asli Papua dalam bidang Politik dapat dilihat dari aspek sosiologis, aspek politik, aspek keamanan dan ketertiban, isu-isu strategis, dan rekomendasi Majelis Rakyat Papua.

Pemohon melihat berbagai masalah yang dihadapi Orang Asli Papua untuk maju sebagai Calon Kepala Daerah di setiap Wilayah Kabupaten/Kota, dalam praktik-praktik pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di wilayah Papua, sangat dipengaruhi berbagai aspek- aspek dibawah ini.

Pertama, Aspek Sosiologis. Praktik-praktik pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di wilayah Papua sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, politik, ekonomi dan budaya penduduk di wilayah Papua. Beberapa faktor yang berhubungan langsung adalah komposisi pemilih yang tidak sebanding antara pemilih Orang Asli Papua dan non Orang Asli Papua di wilayah Papua, kekuatan ekonomi yang mendukung modal politik dalam pemilihan Kepala Daerah cenderung dimiliki oleh non Orang Asli Papua, budaya materialistis orang Papua dimanfaatkan oleh kekuatan ekonomi dari bukan orang asli Papua menyebabkan pergeseran nilai budaya orang asli Papua memberikan ruang berkembangkan transaksi politik yang tidak sesuai dengan prinsip nilai-nilai demokrasi.

Kedua, Aspek Politik. Kebijakan-kebijakan politik yang tidak memproteksi Orang Asli Papua, yakni minimnya regulasi (perdasi, perdasus) yang hasilkan, terutama perdasi dan perdasus yang langsung menyentuh Orang Asli Papua. Selain itu, kebijakan pusat dan daerah terkait pengelolaan sumberdaya alam yang mengabaikan hak-hak dasar Orang Asli Papua bahkan merugikan pendapatan negara tidak secara maksimal dikerjakan oleh kepala daerah.

Ketiga, Aspek Keamanan dan Ketertiban. Kekuatan ekonomi yang dimanfaatkan dalam proses Pilkada oleh pemilik modal yang mayoritas adalah non Orang Asli Papua dalam membuat keputusan politik, memunculkan sikap adu domba antara Orang Asli Papua di tataran masyarakat yang mengakibatkan keresahan dan konflik terbuka. Selain itu, non Orang Asli Papua sebagai calon kepala daerah menimbulkan rasa ketidaknyamanan bagi penduduk bukan Orang Asli Papua di beberapa wilayah Papua.

Keempat, Isu Strategis. Komposisi pemilihan Kepala Daerah di Papua Periode 2001-2024 di Tanah Papua telah menjadi pemicu rasa ketidakadilan bagi masyarakat Papua dalam aspek politik yang tersebar merata hampir di seluruh kabupaten/kota di Papua. Fakta membuktikan bahwa dalam periode 2001-2024 (23 tahun) pemilihan serentak kepada daerah menunjukkan bahwa perbandingan kepala daerah, baik bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota menunjukKan ketidakadilan dan keberpihakan pada Hak Politik Orang Asli Papua,

Komposisi demografi penduduk Orang Asli Papua dan Non Orang Asli Papua tidak seimbang, dimana penduduk Orang Asli Papua mengalami degradasi di beberapa kabupaten/kota di wilayah Papua. Jika dihubungkan dengan pemilihan kepala daerah dan anggota DPRP, DPRK kabupaten/kota, komposisi demografi ini dapat mempengaruhi hasil pemilihan kepada daerah dan anggota legislatif.

Fakta ini dapat dibuktikan, dimana dalam periode Otonomi Khusus, terdapat 48% Kepala Daerah adalah Non orang Asli Papua. Ini menunjukan ketidakadilan politik bagi Orang Asli Papua. Dikuatirkan, dalam periode Otonomi Khusus ke depan, Orang Asli Papua tersingkir dari pencalonan kepala daerah baik bupati, wakil bupati, dan walikota, dan wakil walikota serta juga anggota DPRP dan DPRK. Dengan demikian, Orang Asli Papua akan kehilangan hak-hak politiknya di waktu yang akan datang;

Pertimbangan lain, berdasarkan risalah kajian akademik Asosiasi Majelis Rakyat Papua Se-Wilayah Papua mengartikan Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai Orang Asli Papua oleh masyarakat adat Papua, dirubah menjadi “Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku-suku asli di Provinsi Papua.

Harus Revisi PKPU 2024

Berdasarkan uraian ini, Asosiasi MRP Se-Wilayah Papua memohon kepada KPU RI untuk melakukan perubahan atas PKPU Nomor 2 Tahun 2024 tetang pemilihan kepala Daerah untuk memberikan ruang dan kesempatan secara utuh kepada daerah di wilayah Otonomi Khusus se- wilayah Papua. Terhadap Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota pada Pemilihan Kepala Daerah 2024, harus Orang Asli Papua dari wilayah adat masing-masing.

“MRP Se-Wilayah Papua memohon kepada KPU-RI untuk dapat mempertimbangkan dan menanggapi Permohonan kami dengan serius. Mengingat waktu yang sangat singkat menjelang Pilkada 2024, maka KPU RI agar dapat mengambil Keputusan segera terkait permohonan MRP ini,” kata Koordinator MRP Se-Wilayah Papua, Agustinus Anggaibak, S.M.

Menurut Anggaibak, pertimbangan lain dari Asosiasi MPR Se-Wilayah Papua ialah bahwa atas dasar terpenuhinya hak-hak dasar Orang Asli Papua termasuk hak politik sebagaimana semangat Undang-Undang Otonomi Khusus, MRP memohon agar KPU RI berdasarkan kewenangannya dapat ikut serta dalam mewujudkannya. Sebab hal ini adalah cita cita dan harapan Orang Asli Papua untuk berperan penuh dalam pembangunan daerahnya masing-masing.

“Asosiasi Majelis Rakyat Papua Se-Wilayah Papua, mengucapkan banyak Terimaksih kepada KPU RI melalui Ketua Devisi Teknis Penyelenggaraan KPU RI Idham Holik saat menghadiri peluncuran tahapan pilkada Gubernur dan wakil  Gubernur Provinsi Papua Barat Daya di Aston Hotel Sorong. Dimana Idham Holik mengatakan bahwa Pilkada serentak di wilayah Papua, pencalonan merujuk pada Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua,” tegas Anggaibak. (Gusty Masan Raya)

Facebook Comments Box