Rani Ngabalin

Oleh: Rani Yanti Ngabalin 

Hari ketujuh setelah Idul Fitri. Masyarakat masih saling bersilaturahmi, masih saling memaafkan, dan masih merayakan kemenangan. Tapi sesungguhnya, kemenangan yang dimaksud bukan sekadar berhasil menahan lapar dan dahaga melainkan keberhasilan dalam mengendalikan diri, menahan amarah, menjaga hati, serta tetap bersikap baik di tengah ujian dan cobaan selama Ramadhan.

Kemenangan inilah yang terasa begitu relevan dengan perjalanan Benhur Tomi Mano atau BTM, yang saat ini sedang berjuang meraih kembali amanah rakyat Papua dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) sebagai Gubernur Papua. Seperti umat Muslim yang melalui Ramadhan dengan penuh tantangan, BTM pun menghadapi jalan politik yang tak ringan difitnah, dibenturkan dengan umat Islam, bahkan digiring dalam narasi sektarian yang menyakitkan. Tapi alih-alih membalas, ia memilih jalan sejuk: diam dalam kerja, tenang dalam bukti, sabar dalam keyakinan.

BTM: Pemimpin yang Tidak Menjawab dengan Retorika, Tapi Bukti

Sebagai seorang Nasrani, BTM kerap dituding tidak berpihak kepada umat Islam. Tapi sejarah justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Di masa kepemimpinannya sebagai Wali Kota Jayapura dua periode, ia mengulurkan tangan lebih dulu kepada umat bukan karena politik, tapi karena panggilan nurani. Beberapa langkah konkret yang pernah ia lakukan antara lain:

• Menyediakan lahan dan membangun TPU Muslim Gratis di Buper Waena

• Menginisiasi pembangunan mushola di Kantor Wali Kota sebagai ruang ibadah nyaman bagi ASN Muslim

• Memberangkatkan umroh gratis setiap tahun bagi tokoh masyarakat dan imam masjid

Semua langkah ini tidak muncul mendadak karena musim pemilu. Sudah dilakukan sejak lama dan itulah yang membuatnya bermakna.

Di Tengah Ujian, BTM Tak Pernah Mengingkari Nilai Persaudaraan

Ketika isu sektarian kembali dimainkan, BTM tidak melawan dengan amarah. Ia justru menyampaikan pesan yang menyentuh dalam salah satu pidatonya:

“Jangan sampai karena politik, hubungan baik saya dengan umat Islam yang sudah lama terjalin justru rusak.”

Itu bukan sekadar ucapan, tapi prinsip hidup. Karena jauh sebelum politik memanggil, BTM sudah lebih dulu tumbuh dalam semangat toleransi. Ia adalah alumni SMP Muhammadiyah tempat ia belajar nilai-nilai persaudaraan lintas iman. Tak heran bila banyak yang menyapanya sebagai “Kader Krismuha” (Kristen Muhammadiyah), bukan sebagai ejekan, melainkan sebagai pengakuan bahwa ia paham, dekat, dan tulus kepada umat Islam.

BTM Tidak Sekadar Inklusif, Tapi Visioner untuk Umat

Ke depan, komitmen BTM untuk umat Islam tidak berhenti. Ia membawa visi besar untuk menghadirkan pelayanan haji yang lebih adil dan terjangkau bagi warga Muslim di Papua:

• Mendorong pemerintah pusat agar kuota haji Papua ditingkatkan

• Memperjuangkan Embarkasi Haji Khusus Papua untuk mengakhiri ketergantungan ke kota lain

• Bekerja sama untuk membangun Asrama Haji dan Tempat Manasik di Jayapura

Semua ini bukan sekadar layanan administratif tapi bukti bahwa Papua bisa hadir sebagai rumah spiritual yang adil bagi semua umat beragama.

Dari Ramadhan ke Papua: Kita Semua Sedang Diuji

Idul Fitri hari ke-7 adalah pengingat bahwa kemenangan tak bisa diraih tanpa pengorbanan. Begitu juga dengan BTM, yang terus bertahan, menahan diri dari narasi saling hujat, dan membiarkan karya yang bicara. Seperti umat Islam yang setelah satu bulan berjuang akhirnya meraih Idul Fitri, BTM pun layak mendapatkan kemenangan karena ia telah menjaga persaudaraan, melindungi keberagaman, dan membangun Papua dengan cinta, bukan dengan kebencian.

Waktunya Memilih Berdasarkan Rekam Jejak, Bukan Identitas

Papua hari ini butuh pemimpin yang bisa menyatukan bukan yang datang membawa sekat-sekat baru. Dan BTM sudah membuktikan diri, bahwa ia tidak hanya hadir untuk satu kelompok, tapi untuk seluruh rakyat Papua, dari pegunungan sampai pesisir, dari gereja, masjid pura, wihara, hingga klenteng semuanya menjadi bagian dari perjalanan dan restu spiritual Papua ke depan.

Maka pada hari-hari penuh makna setelah Idul Fitri ini, marilah kita tidak terjebak pada isu-isu yang memecah. Mari melihat pemimpin dari apa yang telah ia kerjakan, bukan dari label yang disematkan. Karena Papua tidak butuh simbol, Papua butuh bukti Dan BTM sudah memberikannya.

(Penulis adalah Mahasiswa Magister Komunikasi Politik Universitas Paramadina)

Facebook Comments Box