Oleh Aleks Giyai*)

Di tengah intrik-intrik pembangun yang diagungkan, kegagalan pemerintah dalam memahami realitas kerap menjadi akar dari berbagai persoalan di daerah. Alih-alih menjadi motor perubahan, banyak pengambil kebijakan justru terjebak dalam pola pikir nihilisme, reaktif, dan anti-intelektual.

Inilah ironi besar di negara yang katanya menjunjung demokrasi berbasis partisipasi dan pengetahuan: pemimpin yang memegang kekuasaan justru seringkali buta terhadap pembangunan yang esensial dan realistik, faktualtual, dan di namika yang terjadi daerahnya.

Ketidakmelekkan Dibungkus Retorika

Berkali-kali kita menyaksikan keputusan-keputusan penting diambil tanpa dasar data yang kuat, tanpa analisis risiko yang memadai, bahkan tanpa pemahaman kontekstual yang layak. Literasi — dalam arti memahami data, membaca tren global, dan merespons dengan kebijakan berbasis bukti — seringkali dikalahkan oleh kepentingan sesaat dan ambisi politik.

Pemerintah lebih sibuk membangun narasi pencitraan ketimbang memperkaya kapasitas intelektualnya. Retorika dipilih untuk menutupi ketidakmelekkan, seolah-olah kata-kata manis bisa menggantikan kerja nyata berbasis pemahaman mendalam sesuai kebutuhan yang real.

Dampak Buruk Kebijakan yang Tidak Literat

Ketidakmampuan membaca data kesehatan antara real dengan kondisi menyebabkan respon pandemi yang lambat dan berantakan. Ketidakmampuan memahami literasi digital menyebabkan kebijakan internet yang represif alih-alih progresif. Ketidakpekaan terhadap literasi lingkungan mendorong eksploitasi sumber daya alam tanpa pertimbangan masa depan. Keapatisan terhadap pembangunan ekonomi rakyat sehingga menciptakan ketergantungan hidup masyarakat.

Semua ini bukan sekadar kekeliruan administratif—ini adalah bentuk kelalaian intelektual yang berbiaya mahal bagi rakyat. Lihai dalam melihat kebijakan yang tak berpihak dan bijaklah mengkritisi demi perubahan kolektif.

Mengapa Pemerintah Harus Dididik, Bukan Dimaklumi?

Mendidik pemerintah bukan pilihan moral; ia adalah keharusan struktural. Di negara demokratis, kedaulatan rakyat mengandaikan bahwa pejabat publik wajib mampu memahami kompleksitas persoalan yang mereka kelola. Ketidaktahuan bukan hanya memalukan, melainkan juga berbahaya.

Kita tidak bisa terus memaklumi pemimpin yang malas belajar dengan dalih “pengalaman” atau “insting politik”. Dunia berubah terlalu cepat untuk diserahkan pada mereka yang tidak mau membaca dan hal itu pantas untuk di kritisi sebagai pemimpin publik. Pemerintahan ada untuk milik Bersama walaapun pemimpin dapat di ganti-ganti wajah.

Peran Rakyat: Membuka Mata Pemerintah

Rakyat hari ini tidak boleh lagi hanya menjadi pengamat pasif. Pendidikan literasi terhadap pemerintah harus dilakukan melalui tekanan publik: kritik tajam, kampanye berbasis data, advokasi yang konsisten, serta pengawasan ketat terhadap setiap kebijakan dan penyalagunaan anggaran negara.

Tidak ada perubahan tanpa paksaan; tidak ada literasi tanpa dorongan keras. Mendidik pemerintah berarti memaksa mereka keluar dari zona nyaman ketidaktahuan yang di butakan oleh kekuasaan.

Penutup

Pemerintah yang anti-literasi adalah ancaman bagi masa depan negeri. Mereka yang berkuasa tanpa pengetahuan sejatinya tengah menyiapkan kehancuran perlahan. Maka, tugas terbesar kita adalah mendidik—dan jika perlu, mendesak —pemerintah untuk melek literasi.

Sebab bangsa yang besar bukan hanya dipimpin oleh orang-orang yang kuat, tetapi oleh mereka yang mau terus belajar, memahami, dan bertindak berdasarkan pengetahuan untuk mengiplementasikan sesuai kondisi real yang dialami rakyatnya.

*) Penulis Adalah Pegiat Literasi Papua

Facebook Comments Box