Suasana pertemuan antara Pemprov Papua bersama Kemenkumham dan USAID Indonesia.

JAYAPURA (PB) – Pemerintah Provinsi Papua menerima kunjungan Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM bidang Penguatan Reformasi dan Birokrasi Haru Tamtomo dan  Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Papua Abner Banosro bersama USAID Indonesia, Senin (11/9/2017) siang.

Pertemuan yang berlangsung dalam suasana akrab tersebut, dari Pemprov Papua diwakili Asisten Bidang Kesejahteraan dan Perekonomian Rakyat Setda Papua Elia I Loupatty dan Kepala Kesbangpol Provinsi Papua Musa Isir, di ruang rapat Sekda Papua.

Maksud dari kunjungan tersebut adalah untuk monitoring pelaksanaan kerjasama antara USAID dengan Kementerian Hukum dan HAM, karena ada dua program kerjasama yang dilaksanakan di Papua, yaitu program bersama tentang antikekerasan terhadap wanita dan anak, program MAJU yang merupakan penguatan, berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

“Kegiatan ini sudah berjalan satu tahun. Jadi di akhir tahun viskal yang berjalan, kami melakukan monitoring, sampai sejauh mana progress dari program yang sudah dilakukan di Papua tersebut,” jelas Haru Tamtomo saat disinggung mengenai maksud dan tujuan dari kunjungannya bersama rombongan USAID.

Menunggu SOP

Sementara itu, Elia I Loupatty menjawab pertanyaan media ini terkait rumah aman yang diperuntukkan bagi ibu dan anak, yang saat ini sudah dibangun oleh Polda Papua, mengatakan, rumah singgah/aman saat ini telah diatur Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait siapa saja yang bisa membantu, karena sifatnya darurat.

“Karena itu ranah Polda, maka tentunya ada syarat – syarat untuk masuk. Biar pun itu rumah aman, tapi kan itu tidak sembrono masuk.  Apalagi kalau di malam hari, karena lebih banyak kan kejadian di malam hari,” tuturnya. Ia menyambut baik  jika dibuat SOP, sehingga siapa pun bisa masuk walaupun pagi hari maupun tengah malam, sudah tidak ragu lagi.

Selain itu juga dengan adanya SOP, tentunya ada jadwal – jadwal, karena juga menyangkut pembiayaan soal penanganan kasus kekerasan ibu dan anak.

Saat ini, data dari provinsi terkait kasus kekerasan ibu dan anak, menurutnya, banyak atau sedikit masih menjadi tanda tanya. Yang menjadi soal masalah,  kekerasan ibu dan anak menjadi perhatian dunia. Karena hal ini menjadi hal yang menyangkut keamanan bagi perempuan dan anak.  “Karena itu saya pikir bagi kita di Papua, bukan soal masih sedikit atau sudah banyak. Akan tetapi bagaimana kelakuan kita soal kekerasan terhadap perempuan dan anak,” tegasnya.

Sebab dalam berumah tangga mendapatkan seorang perempuan, terjadi pada orang yang sudah menikah. “Misalnya dari segi  adat saja, untuk mendapatkan seorang perempuan bukan minta lalu dikasih. Ada hal –hal tertentu yang menjadi kewajiban keluarga besar laki-laki.  Sebaliknya juga ada kewajiban dari pihak perempuan,” imbuhnya.

Hal inilah yang perlu menjadi landasan, walaupun dalam konteks adat. Untuk itu ia juga menghimbau kepada para orang tua, pasalnya ada suami istri yang berusaha mendapatkan keturunan, namun tidak berhasil. Sedangkan ada yang gampang memperoleh keturunan, justru menyia – nyiakannya.  Dengan cara ini menurutnya, orang yang hendak melakukan kekerasan terhadap anak atau meninggalkannya di sembarang tempat, justru akan menjadi soal besar bagi keluarga itu sendiri.  Seperti rasa malu dan tidak bertanggung jawab.

“Nah kalau keluarga sudah disebut dengan gelar seperti itu, apakah mampu hidup dalam komunitas?  Minimal komunitas keluarga besar. Karena saya pikir dalam konteks adat masing – masing, siapapun kita pasti akan dapat gunjingan. Kalau sudah begini siapa yang tidak malu. Saya kira hukuman sosial seperti ini, lebih berat daripada hukuman pidana,” tukasnya. Ia meminta untuk memeliharanya dengan baik, supaya anak-anak menjadi kekuatan dan berkat bagi keluarga. (YMF/Ed-Fri)

Facebook Comments Box