Oleh Nasarudin Sili Luli*

Inter-Parliamentary Union (2015) melaporkan, dalam 20 tahun terakhir ini, telah terjadi peningkatan luar biasa dari keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam parlemen negara-negara dunia. Rata-rata keterwakilan perempuan dalam parlemen nasional secara global meningkat hampir dua kali lipat, dari sekitar 11,3% di 1995 menjadi sekitar 20,8% di 2019 (naik 13,5 poin).

Hampir semua kawasan di dunia memperlihatkan peningkatan keterwakilan perempuan yang sangat luar biasa antara 1995 hingga 2019. Di antara negara-negara itu ialah Rwanda (61,3% pada 2015), Kuba (53,2% pada 2015), dan Bolivia (53,1% pada 2019).

Data yang menarik, Timor Leste, pada 2019 berhasil melampaui keterwakilan perempuan minimal 30%. Negara yang pernah menjadi bagian dari kedaulatan RI ini meraih keterwakilan perempuan 40%.

Secara terpisah, setelah lima pemilu dilaksanakan secara demokratis di Indonesia, perolehan kursi perempuan di tingkat nasional (DPR) masih belum menembus angka 30%. Pada Pemilu 2014, jumlah kursi perempuan di DPR berkisar 17%. Angka ini lebih rendah dari Pemilu 2009 (18%). Namun pada 2019 mencapai angka 20,8%.

Kuota 30% Perempuan

Aturan tentang kewajiban kuota 30% bagi calon legislatif (caleg) perempuan ialah salah satu capaian penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia pascareformasi. Aturan tersebut tertuang dalam sejumlah UU. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.

UU No 2 Tahun 2008 mengamanahkan pada parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian ataupun kepengurusan di tingkat pusat. Angka 30% ini didasarkan pada hasil penelitian PBB yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30% memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.

UU No 10 Tahun 2008 mewajibkan parpol untuk menyertakan 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus dipenuhi parpol agar dapat ikut serta dalam pemilu. Peraturan lainnya terkait keterwakilan perempuan tertuang dalam UU No 10 Tahun 2008 Pasal ayat 2 yang mengatur tentang penerapan zipper system, yakni setiap tiga bakal calon legislatif, terdapat minimal satu bakal calon legislatif (bacaleg) perempuan.

Meski representasi perempuan di ranah politik praktis sudah didorong sedemikian rupa melalui berbagai macam kebijakan, hasilnya masih jauh dari memuaskan.

Menurut data Inter Parliamentary Union (IPU) seperti dikutip Scholastica Gerintya (2017), di level ASEAN, Indonesia menempati peringkat keenam terkait dengan keterwakilan perempuan di parlemen. Sementara itu, di level dunia internasional, posisi Indonesia berada di peringkat ke-89 dari 168 negara, jauh di bawah Afganistan, Vietnam, Timor Leste, dan Pakistan.

Pilkada Momentum Emansipasi

Bagaimana memenuhi kebutuhan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen? Hari Kartini pada konteks penyelenggaraan pilkada bisa mendorong para perempuan bisa aktif berpolitik di tingkat lokal menjadi kepala daerah. Dengan ini, ada keterhubungan proses antar satu pemilu dengan pemilu lainnya. Penting bagi perempuan membuktikan keberadaannya dalam kanca perpolitikan untuk melakukan optimalisasi peran.

Tak mudah bagi perempuan bertarung sendiri di rimba-ya politik dengan medan sirkuit yang keras dan mahal. Ia akan mudah takluk oleh dominasi kader laki-laki yang memang lebih menguasai jaringan sosial-politik dan sumber ekonomi.

Sulit menyentuh substansi demokrasi. Keadilan dan kesetaraan menjadi syarat mutlak demokrasi yang berkeadaban dan berkesejahteraan mana kala parpol tidak serius dan berani untuk membuka ruang afirmasi buat perempuan.

UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah mengatur dengan tegas bahwa harus ada 30 persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol di tingkat pusat. Tinggal dibutuhkan komitmen parpol untuk melakukannya.

Bagaimanapun parpol harus menjadi agen demokrasi sekaligus trend setter bagi perlakuan yang setara terhadap perempuan untuk mewujudkan hak-hak politiknya demi keadilan dan kemaslahatan semua. Perempuan tidak hanya diberi kesempatan menjual suaranya di atas panggung kampanye namun mampu juga bersuara dari atas kursi kekuasaan terutama demi perbaikan nasibnya pada Pilkada 2020.

Selain desakan terhadap parpol, kaum hawa harus terus mengasah kemampuan dan pengalaman sosial-politik. Tujuannya untuk menarik perhatian parpol dalam kandidasi politik, termasuk menarik perhatian pemilih perempuan yang secara elektoral cukup potensial.

Suda saatnya pada Pilkada 2020 perempuan harus melakukan emansipasi dan memperkuat solidaritas di kalangan perempuan. Tujuannya untuk membuka jalan bagi perempuan-perempuan hebat ke arena politik maupun birokrasi belum tercipta secarah terstruktur. Ini pun termasuk pula kebulatan sikap perempuan untuk mendukung calon kepala daerah perempuan yang bertarung dalam pilkada 2020 .

Perempuan yang berlaga di Pilkada 2020 nanti juga harus membuktikan diri sebagai calon pemimpin berkualitas karena gagasan dan visi besarnya sehingga tidak terus tersesat dalam rimba politik pragmatis.

Jangan lagi merobek kepercayaan rakyat seperti beberapa pendahulu yang setelah menjadi kepala daerah malah terjerat korupsi. Ini akan menjadi batu sandungan bagi demokrasi dan bagi masa depan perempuan itu sendiri, termasuk menjadi celah pembelaan diri parpol, kenapa enggan mengkandidasi perempuan.

Terakhir pesan RA.Kartini teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi. Bila tidak bermimpi apakah jadinya hidup. Kehidupan yang sebenarnya kejam”.

*Penulis Pegiat Kebangsaan dan Kenegaraan

Facebook Comments Box