JAYAPURA (PB.COM)—Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sepanjang 2021-2024 akan fokus bekerja menekan angka stunting atau gizi buruk kronis di seluruh Indonesia. Hal ini sesuai dengan amanat Presiden RI Bapak Joko Widodo kepada Kepala BKKBN Dr. (HC) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) sebagai Ketua Pelaksana Percepatan dan Penurunan Stunting di Indonesia.

Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Papua Sarles Brabar, SE.M.Si mengatakan terkait program ini, pihaknya akan menggandeng sejumlah dinas terkait di tingkat Provinsi Papua maupun kabupaten/kota seperti Bappeda, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pertanian dan Peternakan dan Dinas PUPR untuk bersama-sama berkolaborasi menekan angka stunting di Papua.

“Hampir semua kabupaten/kota di Papua memang memiliki angka stunting yang tinggi. Tetapi yang paling tinggi itu di wikayah Lapago dan Meepago, lalu Saereri dan Animha. Ini jadi program prioritas nasional di BKKBN, jadi kami akan lakukan tindakan promotif dan preventif. Sesuai arahan Kepala BKKBN Pusat, mulai 2022 kepala BKKBN siap laporkan angka penurunan stunting,” kata Sarles Brabar kepada papuabangkit.com melalui telepon selulernya, Jumat (25/06/2021).

Menurut Sarles, persoalan stunting di Papua tidak hanya tugas BKKBN atau dinas kesehatan semata. Stunting berkaitan dengan dua persoalan utama yaitu makanan bergizi dan perumahan layak huni.  Oleh karena itu, kolaborasi dari semua dinas terkait sangat dibutuhkan agar upaya kuratif dan preventifnya berjalan.

“Karena itulah, tahun ini juga, dalam rangka Harganas ke-28 tahun 2021, BKKBN mengambil tema Keluarga Keren, Cegah Stunting. Tahun 2022, dana kita di BKKBN akan fokus pada upaya promosi dan penguatan demi pencegahan stunting di Papua. Sistemnya kita kovergensi, kolaborasi atau keroyokan bersama dinas terkait target turunkan angka stunting di Papua,” ujar Sarles.

Sunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Kondisi tubuh anak yang pendek seringkali dikatakan sebagai faktor keturunan (genetik) dari kedua orang tuanya, sehingga masyarakat banyak yang hanya menerima tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. 

Ketua Pelaksana Percepatan dan Penurunan Stunting di Indonesia sekaligus Kepala BKKBN Dr. (HC) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) mengatakan berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, penurunan prevalensi stunting Balita di tingkat nasional hanya sebesar 6,4 persen selama periode 5 tahun, yaitu dari 37,2 persen (2013) menjadi 30,8 persen (2018). Sedangkan untuk balita normal, lanjut Hasto, terjadi peningkatan dari 48,6 persen (2013) menjadi 57,8 persen (2018) dan Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 17 negara yang mengalami beban ganda gizi, baik kelebihan maupun kekurangan gizi.

“Di kawasan Asia Tenggara, prevalensi stunting di Indonesia merupakan tertinggi kedua, setelah Kamboja. Secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan. Pengalaman dan bukti internasional menunjukkan stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan hilangnya 11 persen GDP (Gross Domestic Products) serta mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20 persen,” kata Hasto mengutip ANTARA. (Gusty Masan Raya/dbs)

Facebook Comments Box