Mural kritik di kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa, 24 Agustus 2021. (Antaranews.com/Galih Pradipta)

 

TAHUN 2020 dan 2021 menjadi tahun terberat bagi umat manusia di seluruh dunia. Virus baru bernama Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19, tiba-tiba menyerang manusia sejagat raya. Virus ini mula-mulai  ditemukan di Kota Wuhan di Provinsi Hubei, China, lalu menyebar ke seluruh dunia seiring pergerakan manusia.

Jutaan orang di seluruh dunia, telah meninggal akibat Covid-19. Di Indonesia, berdasarkan informasi yang terpampang di laman Covid19.go.id per Rabu, 25 Agustus 2021, jumlah orang yang terpapar mencapai 4.026.837 orang, dimana 129.293 orang telah dinyatakan meninggal dunia, 257.677 pasien dalam perawatan, dan 3.639.867 lainnya berhasil sembuh.

Di Provinsi Papua, berdasarkan data yang dikeluarkan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Covid-19 per Selasa, 24 Agustus 2021, jumlah angka kumulatif orang yang terpapar Covid mencapai 40.871 orang. Rinciannya, 33.940 orang (83,0 %) orang sudah dinyatakan sembuh, 5.814 orang (14,2%) sedang dalam perawatan, dan 1.117 orang atau 2,7 persen meninggal dunia.

Sungguh mengerikan. Padahal, sejumlah kebijakan telah diambil pemerintah Pusat sejak 2020 untuk mencegah penambahan kasus baru. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Apa yang salah? Hemat saya, sekurang-kurangnya, ada tiga hal yang menjadi pemicu, mengapa kasus Covid di Indonesia masih terus meningkat.

Pertama, berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Pusat dalam penanganan Covid. Pembatasan aktivitas yang mempengaruhi pendapatan hidup mereka, tidak sebanding dengan kompensasi bantuan sosial seperti sembako yang diterimanya. Masyarakat memang makin lapar saat aktivitas ekonomi mereka dibatasi.

Parahnya, pasca kasus korupsi yang menyeret mantan Menteri Sosial Juliari Batubara Desember 2020 lalu, sepanjang tahun 2021 ini, kementerian sosial seperti “puasa” menjalankan kewajibannya menyalurkan kembali bantuan sosial kepada masyarakat terdampak. Di sisi lain, janji Ketua KPK Firli Bahuri untuk siap menjatuhkan  hukuman mati bagi para koruptor dana Covid yang nyatanya hanya pepesan kosong belaka, ikut memperburuk kredibitas pemerintah di mata rakyat.

Dalam berbagai media sosial, kita dengan mudah menjumpai berbagai kritik dan keluhan masyarakat terkait kondisi ekonomi yang dihadapi. Di Jakarta misalnya, viral pembuat mural kritik di kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa 24 Agustus 2021 bertuliskan “Tuhan Kami Lapar.” Ini adalah satire tajam yang memilukan nurani.

Kedua, berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit atau institusi kesehatan. Fenomena penolakan sebagian keluarga terhadap hasil pemeriksaan pasien Covid yang meninggal dengan disertai komorbid atau penyakit penyerta, sering kita jumpai di media massa.  Kasus di sejumlah daerah menunjukkan, banyak keluarga pasien mengambil paksa jenazah karena mencap rumah sakit “meng-covid-kan” pasien demi kepentingan bisnis atau uang.

Kecurigaan warga akan adanya bisnis Covid di rumah sakit beralasan. Biaya perawatan seorang pasien Covid selama dua pekan hingga sebulan bisa mencapai Rp 200 juta rupiah. Biaya pemakaman jenazah Covid sesuai protokol kesehatan mencapai puluhan juta rupiah per kepala. Belum lagi, laboratorium sendiri yang ikut mengambil untung dalam bisnis kesehatan, bekerja tanpa pengawasan ketat lembaga independen.

Ketiga, berkurangnya disiplin masyarakat mengikuti protokol kesehatan Covid. Hal ini dipicu oleh dua poin di atas. Belum lagi, tekanan psikologis karena ruang gerak sosial mereka dibatasi. Masyarakat ramai-ramai melepas masker dan beraktivitas tanpa jarak karena menilai Covid hanyalah penyakit rekayasa pemerintah untuk mendapat keuntungan.

Menurut saya, ketiga hal di atas disebabkan karena sejak awal pandemi, pemerintah Pusat sudah salah mengambil kebijakan. Untuk mengurainya secara tuntas, tentu terlalu panjang. Semestinya, ada beberapa kebijakan revolusioner yang harus dilakukan pemerintah sejak awal agar tuntas mengatasi pandemi ini, selain langkah-langkah baik seperti vaksinasi.

Pertama, perlunya dilakukan pemeriksaan lengkap (general check up) untuk setiap warga yang masih bekerja di ruang publik (kelompok umur 25-60 tahun) guna mendeteksi adanya komorbid seperti jantung, diabetes, ginjal, hepatitis, TBC dan sebagainya. Karena itu, pemerintah wajib menyediakan anggaran di APBN guna memberikan subsidi bagi biaya pemeriksaan gratis itu. Langkah ini sangat penting demi mencegah kematian warga. Sebab rata-rata pasien Covid meninggal karena komorbid. Covid hanya pemicu kematian.

Kedua, perlu adanya tim epidemologi dan patologi klinis dilengkapi dengan laboratorium khusus yang mengawasi kinerja semua laboratorium daerah dan swasta yang selama ini melakukan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) atau pun swab antigen di setiap provinsi. Hal ini bisa menjadi solusi bagi pasien atau keluarga pasien yang tidak puas dengan hasil pemeriksaan dokter, yang dirasanya janggal. Juga mencegah praktik jual beli surat PCR atau swab antigen untuk kepentingan perjalanan, yang marak terjadi akhir-akhir ini.

Ketiga, di tengah kebijakan PPKM, pemerintah harus nyata hadir dengan menyalurkan bantuan sosial demi mengembalikan kredibilitasnya di mata rakyat. Hal ini niscaya akan berdampak pada kepatuhan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan. Edukasi dan sosialisasi sudahlah cukup. Masyarakat yang dibatasi aktivitas ekonominya butuh bansos berupa sembako.

Wabah belum berakhir. Virus ini masih meneror manusia dengan ancaman kematian setiap saat melalui proses penyebaran yang masif. Karena itu, mari kita tetap ikuti program baik pemerintah seperti vaksinasi. Sambil tetap taat pada protokol kesehatan 3M yaitu mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak. Kita harus tetap semangat dan optimis untuk  memenangkan “pertandingan” melawan virus ini agar Indonesia kembali bangkit. (Agustinus Masan Raya, S.Fil/Jurnalis papuabangkit.com tinggal di Jayapura-Papua)

Facebook Comments Box