Kaper BKKBN Provinsi Maluku, Sarles Brabar, SE.M.Si dengan penghargaan di tangan.

 

Papua harus bangga memiliki salah seorang putra terbaiknya yang bekerja di BKKBN. Adalah Sarles Brabar, SE.M.Si, Pria kelahiran Biak, 12 September 1966 yang kini dipercayakan menjadi Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kaper BKKBN) Provinsi Maluku sejak 12 Juli 2021. Sebelumnya, lulusan Strata Dua (S2) Magister Ilmu Ekonomi Universitas Cenderawasih (Uncen) ini dipercayakan menjadi Kaper BKKBN Provinsi Papua (2016-2021) dan Kaper BKKBN Papua Barat (2014-2016). Jurnalis Papuabangkit.com Gusty Masan Raya selama sejam mewawancarainya melalui telepon seluler, Kamis, 10 November 2022. Berikut petikan wawancaranya.

Setelah empat tahun pimpin BKKBN Papua, tiba-tiba dipindahditugaskan ke Maluku. Awalnya, apa reaksi Bapak?

Sebagai ASN, dimana pun ditugaskan, saya pasti siap untuk bekerja. Prinsip itu saya pegang dan jadikan semangat saat menginjakkan kaki pertama kali di Provinsi Seribu Pulau, Maluku, tepatnya di Kota Ambon pada Juli 2021. Saya terima penugasan ini dengan penuh syukur dengan harapan bisa melakukan hal positif bagi masyarakat Maluku dan juga bagi staf BKKBN di sini. Karena penugasan seperti ini juga untuk penyegaran dan menambah pengalaman baru.

Saya memantau dari media massa dan medsos, tampaknya Bapak sudah betah dan sangat menikmati tugas baru sebagai Kaper BKKBN Maluku ya?

Puji Tuhan, sudah betah dan beradaptasi dengan lingkungan kerja di sini. Sejak datang ke Maluku, saya percaya diri bahwa saya diterima. Apalagi dari aspek sosial budaya, Maluku dan Papua ini tak berbeda jauh. Sama-sama ras Melanesia. Lagi pula, di Papua dan Papua Barat juga ada banyak orang Maluku, baik itu dari Ambon, Kei, Tanimbar, atau Seram. Mereka datang sejak tahun 1960-an jadi pembawa Injil dan juga buka pendidikan. Intinya, Kitorang samua basudara.

Yang beda mungkin kondisi geografisnya. Jika di Papua banyak terdiri dari daratan, kalau di Maluku terbalik. Malah 64 persen luas wilayah Maluku terdiri dari lautan dan banyak pulau kecil. Makanya Maluku dikenal dengan Provinsi Seribu Pulau. Juga ada perbedaan musim. Kalau di Papua kita tidak kenal musim, di Maluku ada musim. Ada saatnya musim hujan, angin, dan gelombang laut tinggi. Dan ini berpengaruh dalam ritme kerja kita.

Apa yang Bapak lakukan saat pertama kali memulai tugas di Maluku dalam kerangka membangun sinergitas dengan stakeholder?

Saya bersilahturami untuk perkenalkan diri dan lakukan pendekatan dengan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Saya datang bersilahturami dengan Gubernur Maluku Irjen Pol. (PurN.) Drs. Murad Ismail, wakil gubernur, sekretaris daerah, dan para asistennya. Juga datangi walikota dan para bupati, kunjungi dinas terkait yang jadi mitra BKKBN seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dukcapil, BPS, Dinas Sosial, dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Kemudian juga bertemu pimpinan TNI/Polri, gereja, masjid dan swasta.

Kepada mereka semua, saya perkenalkan diri bahwa saya anak Papua yang siap bekerja dan bermitra membangun kualitas keluarga di Maluku. Semuanya welcome dan sangat familiar menerima saya. Penerimaan itu juga memberi energi dan semangat bagi saya untuk bekerja di Maluku.

Di tingkat internal, saya coba evaluasi dan ubah cara kerja staf BKKBN. Ini saya lakukan di semua kabupaten/kota. Dalam tempo tiga bulan, dalam kondisi ombak dan angin besar, saya terbang ke sejumlah kabupaten untuk membangun koordinasi. Ada tiga kabupaten yang paling jauh, terbang dengan pesawat butuh waktu 1,5 hingga 2 jam seperti Kepulauan Aru, Maluku Barat Daya, dan Kepualauan Tanimbar. Atau ke Pulau Seram, walau dengan kapal feri lewati gelombang tinggi, saya jalan. Saya lakukan dengan penuh sukacita.

Setahun lebih bertugas di Maluku, apa penilaian Bapak terhadap kehadiran program BKKBN bagi masyarakat selama ini?

Persoalan utamanya tak beda jauh dengan Papua yakni masalah kurangnya edukasi ke masyarakat. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) masih belum masif. Hal ini yang membentuk persepsi masyarakat jadi keliru tentang Keluarga Berencana (KB). Padahal, jika masyarakat diedukasi, diberi pemahaman dengan baik menyangkut program-program strategis KB, mereka pun menjadi paham, menerima, mendukung, dan ikut berpartisipasi.

Seperti di Papua, di Maluku pun sama bahwa program KB tidak bermaksud untuk membatasi jumlah anak dalam keluarga, tetapi lebih bertujuan mengatur jarak kelahiran. Tujuannya supaya kesehatan ibu dan anak terjaga. Ini prinsip yang kita pegang dalam menjalankan KIE. Dan semua program ini baru bisa dirasakan 15-25 taun ke atas, bukan dalam waktu singkat, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, sosial, dan pendidikan.

Saya mendengar, berkat kehadiran Bapak memimpin BKKBN Maluku dengan genjot KIE, jumlah akseptor mulai meningkat dan dapat 5 penghargaan, benarkah?

Ya memang peserta KB modern di Maluku masih rendah, dimana tingkat prevalensi pemakaian kontrasepsi atau Contraceptive Prevalence Rate (CPR) kita tidak pernah sampai 100. Tapi tahun ini kita agak naik. Kami dari BKKBN Provinsi Maluku dengan masif menggerakan seluruh dinas terkait jalankan KIE di 11 kabupaten/kota sehingga yang awalnya hanya sampai 70 persen kini sudah sampai 90 persen. Kami juga menyiapkan pelayanan kesehatan bagi Kesehatan Ibu, Anak dan Suami lewat Klinik KIAS.

Dan puji Tuhan, kerja kita ini mendapat penghargaan dari BKKBN Pusat. Tahun 2022 ini, kita sudah meraih 4 penghargaan yakni Juara I Provinsi Terbaik Tingkat Nasional dalam hal Kelompok Target Pelatanan KB <10.000 Akseptor pada 15 Juni 2022, Juara I Provinsi Terbaik Tingkat Nasional terkait Total KB MKJP Kelompok Target Pelayanan KB MKJP < 1.500 Akseptor, kemudian Juara I Provinsi Terbaik Tingkat Nasional dalam hal Kelompok Target < 10.000 Akseptor, dan Juara I Provinsi Terbaik Tingkat Nasional KB Pasca Persalinan Kelompok Target KBPP < 1.500 Akseptor. Selain itu, BKKB Maluku juga meraih prestasi Unit Kerja Eselon II (UKE II) tengah semester tahun 2022 sebagai predikat terbaik kelima dengan raport kinerja terbaik di atas rata-rata 85 persen.

Maluku adalah salah satu provinsi berkategori stunting akut kronis di Indonesia. Apa saja yang sudah dilakukan BKKBN Maluku sebagai leading sector untuk mencegah dan menurunkan stunting?

Benar, secara nasional, Maluku termasuk 27 provinsi yang masuk sebagai daerah stunting  akut kronis dengan prevalensi 28,7 persen. Karena itu, sejak jadi Kaper BKBN Maluku, saya berupaya bangun koordinasi lintas sektor untuk kerja kolaboratif. Bersama Pemda Maluku, kita punya target pada 2024 angka stunting turun jadi 20 persen. Artinya, selama 2 tahun harus turun 10 persen.

Kami BKKBN sebagai penggerak di lapangan untuk penurunan stunting sesuai Perpres No 72 tahun 2021, sudah membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) tingkat Provinsi Maluku. Tim yang sama juga kita bentuk di 11 kabupaten/kota dan kecamatan. Jadi baik gubernur, walikota, bupati dan para camat punya komitmen yang sama untuk bersama-sama kerja keroyokan turunkan stunting. TPPS Provinsi Maluku ini terdiri dari sejumlah stake holder seperti Dinas PUPR, Dinas Sosial, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, dan sebagainya.

Jadi intinya, kami gerakkan kekuatan Pentahelix atau 5 komponen utama untuk menjadi mitra kami yaitu pemerintah daerah, masyarakat, akademisi, swasta dan media sebagai penggerak untuk bangun kerja sama dengan semua pihak untuk menurunkan angka stunting.

Dalam pengamatan Bapak, apa sebenarnya penyebab utama stunting di Maluku?

Sebagian besar masyarakat Maluku hidup dari hasil laut. Tentu saja asupan gizi dan protein dari mengkonsumsi ikan cukup tinggi. Tapi masalahnya adalah kemiskinan ekstrim akibat ekonomi, tak beda jauh dengan Papua. Tetapi banyak ahli mengatakan Maluku ini bukan miskin permanan. Sebab potensi alam kita sangat menjanjikan.

Misalnya, kita dorong ibu-ibu manfaatkan makanan lokal untuk atasi stunting ini. Seperti ada daun katub untuk ibu menyusui, bisa pakai campur bubur dan ikan untuk tambah gizi. Stunting ini ancaman bagi kualitas SDM kita. Jika tidak dicegah dari awal, ya dampaknya ke kesehatan dan kecerdasan anak.

Angka prevalensi stunting paling tinggi di Maluku ada di Kabupaten Seram Bagian Timur(41,90 %), menyusul Buru Selatan (39,10 %), Kepulauan Aru (35,80 %) dan Kabupaten Buru (31,70 %).

Apakah tingkat kelahiran di Maluku cukup tinggi?

Jumla penduduk Maluku per Juni 2022 adalah sebanyak 1,8 juta jiwa. Angka Total Fertility Rate atau angka fertilitas total di Maluku adalah 2,8 persen. Jadi rata-rata setiap keluarga memiliki anak lebih dari 3 orang. Kita target angka ini turun menjadi 2,6. Kalau Provinsi Papua 2,9 atau rata-rata 4 anak per keluarga. Jadi strateginya, kita di BKKBN Maluku gencarkan KIE dan beri edukasi kepada keluarga.

Perang terhadap stunting kita padukan dengan juga edukasi soal program KB untuk dapatkan peserta KB baru. Kami memang sudah melakukan penyatuan program KB dan stunting. Sebab salah satu masalah utama stunting ialah jarak kelahiran yang terlalu dekat yang membuat anak itu lahir tampak kurus, kerdil, dan tidak cerdas.

Kita atasi dari hulu sehingga kita buat pendekatan keluarga muda dan para catin (calon pengantin). Kita turunkan Tim Pendamping Keluarga terdiri dari 3 orang yaitu 1 bidan, 1 PKK Desa dan 1 kader KB di Postyandu. Mereka dampingi para catin sejak dari pendaftaran di gereja atau KUA tentang kiat-kiat mencegah stunting. Makanya kita MOU dengan GPM, Keuskupan, MUI dan Kementerian Agama agar pemahaman yang diberikan ini sama.

Sejauhmana kolaborasi BKKBN dengan stakeholder lain dalam mengatasi stunting di Maluku?

Oh banyak. Kita bersyukur bahwa Ketua Penggerak PKK Maluku Ibu Widya Pratiwi Murad selaku Duta Parenting Provinsi Maluku sangat proaktif turun ke 11 kabupaten/kota ajak perangi stunting. Kami yakin target tahun 2024 angka stunting di Maluku jadi 20 bisa tercapai.

Kami dari BKKBN Maluku juga sudah lakukan MoU dengan Sinode Gereja Protestan Maluku, Keuskupan Amboina, MUI Provinsi Maluku, Kementerian Agama Maluku, dan sejumlah perguruan tinggi. Mulai dari Unpati Ambon, UKI Maluku, IAIN Maluku, juga Akakademi Keperawatan dan Kebidanan. Tujuannya untuk bangun kemitraan dalam upaya penurunan angka stunting dan program strategis KB lainnya.

Tak ketinggalan dengan TNI/Polri. Misalnya, kolaborasi kita dengan Pangdam XVI/Patimura, Korem 151/Binaiya Ambon, Lantamal IX Ambon, Lanud Pattimura Ambon, dan tinggal jajaki kerjasama dengan Polda Maluku. Pangdam dan Ibu, Danrem dan Ibu, Danlatamal dan Ibu, dan Danlanud dan Ibu kita kukuhkan sebagai Bapak dan Bunda Asuh Anak Stunting Provinsi Maluku. Jadi semuanya kerjasama ini dalam rangka menyukseskan RAN PASTI atau Rencana Aksi Nasional Penurunan Angka Stunting Indonesia dan program BANGGA KENCANA.

Selama bertugas di Maluku, apa tantangan yang dihadapi sejauh ini?

Pertama, kita di BKKBN Maluku kekurangan SDM secara internal. Staf kita terbatas, sementara medan tugas sangat luas. Memang secara penguatan di lapangan ada 100 lebih staf sehingga lumayan baik. Tapi staf di kantor yang kurang, hanya 50-an pegawai saja.

Kedua, masalah penganggaran di BKKBN yang tidak berbasis kearifan lokal atau ketimuran. Tidak hanya di Maluku, hal yang sama juga terjadi di Papua, Papua Barat, Maluku Utara, dan NTT. Kan kita wiayah Timur kan beda dari sisi kemahalan harga barang dan juga kondisi geografis. Tak bisa disamakan dengan Indonesia Barat. Tapi memang diakui, karena SDM yang rendah, ketika diberi anggaran untuk kerja, kadang penyerapannya rendah.

Ketiga, tantangan geografis dan kuranganya sarana prasarana. Sebagai provinsi kepulauan, Maluku harus dijangkau dengan biaya transportasi yang tinggi. Mestinya, ada kendaraan operasional yang mendukung kerja BKKBN misalnya motor tempel atau speedboat untuk menjangkau wilayah-wilayah pesisir. Ini yang harus dipahami BKKBN  Pusat. Kendati demikian, tentu saja kita tidak menyerah karena semua kekurangan ini Kita tetap berupaya untuk takhlukan segala kendala dengan anggaran yang ada.

Dan apakah anggaran tahun 2022 untuk BKKBN Maluku meningkat?

Ya, terutama untuk dana alokasi khusus yang ditransfer langsung ke kabupaten/kota. Untuk kita di BKKBN Provinsi Maluku, memang Kepala BKKBN RI memberikan peluaag agar kita di-support dari anggaran tambahan dari kegiatan program prioritas seperti stunting, dan pemutakhiran data. Dalam kondisi seperti ini, kami tetap bekerja dengan cara menutupi kekurangan yang ada.

Terakhir, apa nilai positif dari pengalaman bekerja di Maluku yang sejauh ini bisa Bapak petik dan bawa jika suatu ketika kelak, pulang dan mengabdi di Papua atau tempat lain?

Bekerja di Maluku adalah pengalaman sangat berharga bagi saya yang bisa menjadi inspirasi baru jika suatu saya kembali ke Papua dan bekerja di sana. Saya sudah punya banyak pengalaman yang bisa dilakukan untuk membangun keluarga yang sejahtera di tanah kelahiran agar Papua tidak tertinggal terus dari Indonesia lain. Saya banyak belajar dari para bupati di Maluku yang walau dengan anggaran yang terbatas, mereka bisa sukses memajukan masyarakatnya. Tetapi sebagai ASN, tentu saja saya siap mengabdi untuk bangsa dan negara di mana saja. (*)

Facebook Comments Box