Oleh Albertus Muda, S.Ag*)

SETIAP orang beriman mesti menjadikan hari-hari hidupnya sebagai ungkapan syukur atas kebesaran kasih Allah. Mengapa demikian? Sebab tanpa kuasa dan rahmat dari Tuhan, kita tidak menerima dan mengalami anugerah terbesar ini. Hidup merupakan anugerah terberikan dari Sang Pencipta. Allah berkehendak memberikan segalanya bagi hidup dunia.

Manusia pun diciptakan segambar dan secitra dengan Allah. Kesecitraan ini teridentifikasi melalui akal budi, kehendak bebas dan hati nurani. Maka, merayakan hidup berarti merayakan keagungan dan kemuliaan Allah dalam diri manusia. Perayaan ini mesti dilakukan setiap hari karena kasih Tuhan pun tak pernah jedah, selalu kita alami setiap saat.

Ilustrasi

Coba kita renungkan. Setiap hari pasti ada yang merayakan kelahiran baru dalam hidupnya. Dengan merayakan kelahiran berarti merayakan masa hidup yang masih kita jalani. Pada titik inilah ‘rasa syukur’ pantas kita lantunkan kepada Tuhan untuk hadiah dan rahmat istimewa ini. Kita bersyukur karena setiap hari kita masih mengalami kasih Allah dalam hidup kita.

Merayakan Hidup

Sebuah pertanyaan reflektif yang patut direnungkan: mengapa kita harus merayakan hidup? Mestikah hidup ini kita rayakan? Merayakan tidak semata-mata mengarah pada suasana pesta yang diliputi kegembiraan dan menyenangkan. Perayaan hanya mungkin terjadi jika ketakutan dan kasih, kegembiraan dan kesusahan, air mata dan senyum dapat berada bersama menemani rotasi hidup kita setiap hari.

Dengan demikian, hidup memang semestinya dirayakan. Bagaimana kita merayakannya? Dalam bukunya “Mengungkap Rahasia Kekuatan Hidup” (2010), Yustinus Sumantri, menawarkan tiga hal yang mesti kita lakukan dalam merayakan hidup. Pertama, mengakui. Merayakan pertama-tama adalah mengakui sepenuhnya keadaan kita. Seluruh eksistensi diri, mesti kita terima sebagaimana adanya kita saat ini.

Dengan merayakan hidup sesungguhnya kita sedang mengakui bahwa kehidupan itu ada, kita alami dan hidupi saat ini. Kita pun mesti menjawab ‘ya’ saat kita dipanggil menziarahi hidup kita masing-masing. Kedua, mengenang. Kita tidak akan pernah merayakan hidup kita saat ini kalau hidup itu tidak dihubungkan secara berarti dengan masa lampau. Seseorang yang tidak mempunyai masa lampau tidak dapat merayakan masa kini dan menerima hidupnya sebagai miliknya sendiri.

Ketiga, ada harapan. Selain mengakui dan mengenang kehidupan, perayaan kehidupan juga mesti dipenuhi oleh harapan-harapan akan kehidupan di masa depan. Seandainya masa lampau adalah kata terakhir, maka semakin tua, kita akan semakin memenjarakan diri. Seandainya masa kini adalah saat yang terakhir untuk mendapatkan kepuasan, kita pasti akan mencengkeramnya dengan nafsu besar dan mencoba memerasnya sampai tetes terakhir.

Akan tetapi, kita percaya bahwa masa kini memberikan janji dan membentang sampai ke cakrawala kehidupan. Masa kini menjadi pintu masuk merangkul masa depan kita seperti halnya merangkul masa lampau dalam saat-saat perayaan kehidupan. Terpenting dari semua adalah bagaimana kita mengisi hari-hari hidup kita dengan tindakan berguna bagi Tuhan dan sesama.

Kita mesti mensyukuri bahwa Natal merupakan perayaan kehidupan karena yang Ilahi rela datang menyatu dengan kemanusiaan kita dan mengangkatnya untuk menjadikannya Ilahi. Natal sebagai misteri Allah menjelma menjadi manusia, hendaknya selalu kita renungkan agar pemaknaan dari tahun ke tahun tidak sebatas ritus seremonial belaka, melainkan sebuah perayaan yang selalu dimaknai secara baru dan kontekstual.

Budaya Tanding

Merayakan hidup merupakan sebuah budaya tanding untuk melawan budaya kematian. Menjauhi sesama, mengucilkan bahkan memfitnah mereka merupakan simbol budaya kematian. Budaya demikian mesti dilawan dengan menawarkan kedamaian, saling menyapa, memberi salam dan menjaga nama baik sesama kita. Kita mesti berani melawan ketidakadilan juga sikap yang cenderung memanipulasi sesama.

Pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain” (Mat 2:12) menunjukkan ketidaktaatan para majus pada pesan Herodes. Namun, mereka telah menempuh sebuah jalan baru yakni menghormati dan menghargai kehidupan baru. Sebab kehidupan baru dalam diri Yesus mestinya dirayakan bukan sebaliknya dilihat sebagai ancaman secara politis.

Sikap para majus memberikan sebuah awasan sekaligus peringatan kepada kita. Kapan saja kita bisa terjebak dalam skenario kekuasaan yang merusak. Maka, kehendak kita jangan sampai diperalat. Nurani kita jangan sampai disandera oleh kekuasaan politik apapun. Kita mesti waspada terhadap ambisi kekuasaan dalam diri kita agar tidak melihat sesama yang lain sebagai ancaman atau musuh kita.

Demikian pula, akal sehat kita jangan sampai dikalahkan oleh hawa nafsu pihak lain yang sewaktu-waktu memperdaya kita seperti Herodes yang berusaha memperdaya para majus meski gagal sehingga ia memerintahkan membunuh semua anak laki-laki sulung di Betlehem. Kita harus pulang melalui jalan lain yang dikehendaki Tuhan. Sebab jalan yang dikehendaki-Nya adalah jalan kehidupan. Marilah dalam persekutuan kita merayakan hidup dengan tulus dan jujur.

*)Penulis adalah Guru SMA Negeri 2 Nubatukan-Kabupaten Lembata, NTT.

Facebook Comments Box