Tim kuasa hukum korban AR saat memberi keterangan pers kepada sejumlah wartawan di Kantor Law Firm Aloysius Renwarin & Partners, Kota Jayapura, Sabtu, 25 Maret 2023.

JAYAPURA (PB.COM)—Tim kuasa hukum AR (16), anak salah seorang pengacara yang menjadi korban penganiayaan RDA (19) pada Minggu, 19 Maret 2023 di Kota Jayapura, menyoroti kinerja Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Abepura dan jajarannya yang dinilai tidak profesional dan terindikasi melanggar kode etik kepolisian.

Sorotan ini disampaikan tim kuasa hukum AR, menyusul telah terbitnya Surat Penangguhan Penahanan bagi terlapor tanpa berkoordinasi dengan pihak keluarga korban maupun kuasa hukumnya serta temuan fakta adanya indikasi cacat formil atau administrasi dalam proses itu.

“Kami sudah sepakat, akan melaporkan temuan ini kepada Kapolda Papua dan Bidang Propam. Sebab ada banyak kejanggalan yang ditemukan. Kinerja Polsek Abepura benar-benar mengecewakan,” kata Ketua Tim Kuasa Hukum AR, Stepen Maramba Tandilangi, SH saat memberi keterangan pers kepada sejumlah wartawan di Kantor Law Firm Aloysius Renwarin & Partners, Kota Jayapura, Sabtu, 25 Maret 2023.

Menurut Stepen, kejanggalan terkait kinerja Polsek Abepura ini bermula dari kedatangan tim hukum dan keluarga korban AR ke Mapolsek Abepura pada Kamis, 23 Maret 2023 sekitar Pkl. 14.00. Tujuan kedatangan mereka ialah ingin bertemu penyidik yakni Kapolsek dan Kanit Reskrim serta penyidik pembantu guna mengetahui perkembangan penanganan kasus ini.

“Saat itulah  kami tanyakan kepada Kapolsek, apakah terlapor RDA masih dalam tahanan? Kapolsek menjawab bahwa masih ada. Tetapi kami pun meminta izin untuk memastikan bahwa terlapor benar masih dalam tahanan di lantai satu. Salah satu tim kami turun ke bawah, awalnya dicegah oleh petugas. Tetapi akhirnya berhasil masuk dan pastikan. Betapa kaget, ternyata terlapor sudah dua atau tiga hari  keluar dari tahanan,” cerita Stepen.

Merasa ditipu, pihak kuasa hukum dan keluarga pun sempat bersitegang dan marah kepada sang Kapolsek. Sebab terlapor dikeluarkan tanpa diketahui oleh keluarga korban dan kuasa hukumnya. Tim kuasa hukum juga mendapatkan informasi dari salah satu anggota (penyidik pembantu) bahwa Kapolsek Abepura terlibat dan menandatangani Surat Penangguhan Penahanan itu.

“Ini benar-benar menyalahi proses penyidikan yang diatur dalam pasal 1 ayat 1 dan pasal 7 ayat 1 KUHAP serta pasal 15 ayat 1 dan pasal 16 ayat 1 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, dimana tertera jelas bahwa tugas dan kewenangan dari penyidik ini melakukan penahanan, penangkapan, penyitaan barang bukti. Artinya Kapolsek sudah mencederai ini semua. Terlapor dikeluarkan dari tahanan tanpa melalui proses mekanisme yang benar,” tegas Stepen.

Cacat Administrasi

Dede G. Pagundun, SH, salah satu kuasa hukum korban mengatakan, pihaknya juga menemukan adanya cacat adminitrasi dalam kerja kepolisian di Polsek Abepura dalam menangani kasus kliennya.

“Cacat administrasi pertama ialah SPDP yang diterima Penasehat Hukum terbit kemudian tertanggal 24 Maret 2023, sementara faktanya, terlapor sudah dikeluarkan dari tahanan, dimana Kapolsek mengaku mengeluarkan terlapor pada hari Kamis, 23 Maret 2023 di siang hari. Kejanggalan lain, berdasarkan surat Berita Acara, terlapor dikeluarkan pada tanggal 22 Maret 2023. Ada apa dengan Kapolsek Abepura?” tanya Dede.

Kedua, cacat administrasi lain yang ditemukan tim kuasa hukum korban ialah terbitnya Surat Penangguhan Penahanan pada 20 Maret 2023 yang diajukan kuasa hukum terlapor mendahului SPDP dari Kepolisian Sektor Abepura yang baru keluar pada 24 Maret 2023. Menurut Dede, hal ini adalah tindakan penanganan yang sangat tidak lazim atau menyalahi kode etik kepolisian.

“Cacat administrasi ketiga yaitu Surat Penangguhan Penahanan yang diajukan kuasa hukum terlapor ialah tertanggal 20 Maret 2023. Sementara surat kuasa yang diterbitkan kepada sang kuasa hukum itu tercatat mulai tanggal 22 Maret 2023 atau dua hari sesudah Surat Pengguhan Penahanan,” urai Dede.

Keempat, cacat adminitrasi berikut ialah lampiran Surat Penangguhan Penahanan tidak sesuai dengan objek perkara, dimana objek perkara yang seharusnya ialah di Polsek Abepura. Namun faktanya, kata Dede, dalam Surat Penangguhan Penahanan, penasehat hukum terlapor menulis objek perkara ditujukan di Kepolisian Resor Sentani.

Kelima, dalam Surat Penangguhan Penahanan, alasan dasar permohonan sangat tidak masuk akal dan cacat administrasi. Faktanya, pemeriksaan dan penuntutan seharusnya berlangsung di Pengadilan Negeri Jayapura, akan tetapi penasehat hukum terlapor menerangkan pemeriksaan dan penuntutan berlangsung di Pengadilan Negeri Larantuka.

“Dengan sejumlah kesalahan admministrasi dan dugaan pelanggaran kode etik yang dibuat pihak Polsek Abepura, maka kami akan mengambil langkah lebih lanjut yaitu membuat laporan kepada Propam Jayapura dan kasus ini kami bawa ke tingkat selanjutnya yaitu melaporkan ke tingkat Polda Papua,” tegas Dede.

Asas Persamaan Hukum

Anggota tim kuasa hukum korban yang lain, Abdullah Sigit Renawarin, SH mengatakan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Selain itu, dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 juga menegaskan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum (equality before the law).

Artinya, hukum adalah norma yang melindungi hak asasi warga negara. Kesamaan di hadapan hukum berarti bahwa setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Maka setiap aparat penegak hukum terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik.

“Tapi kita melihat dalam kasus klien kami ini, ini karena pelaku adalah anak seorang pejabat jadi polisi memberikan kebijakan yang bertentangan dengan mekanisme peraturan perundangan sebagaiman diatur dalam Kitab UU Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Akhirnya kita di Jayapura menyaksikan hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Kepolisian hendaknya belajar dari kasus Sambo,” tegas Sigit.

Sementara itu Ali Ridwan Patty SH mewakili keluarga korban kembali menegaskan bahwa kasus penganiayaan yang menimpa anak mereka AR tetap diserahkan dalam proses hukum tanpa membuka ruang untuk mediasi.

“Kita ingin kasih pembelajaran kepada publik di Papua bahwa hukum itu tidak pandang bulu. Siapapun orangnya, mau anak pejabat semua punya kedudukan yang sama di mata hukum,” kata Ali.

Menurut Ali, atas semua cacat administrasi yang ditunjukan tim kuasa hukum korban, ia meminta aparat kepolisian di Polsek Abepura untuk segera menangkap terlapor dan menahannya kembali ruang tahanan di Mapolsek.

“Apalagi, sampai saat ini, polisi belum menyita mobil dinas yang digunakan terlapor sebagai salah satu alat bukti. Ini kan aneh,” tegas Ali. (Gusty Masan Raya)

Facebook Comments Box