Demianus Okesan saat sedang di ladang padi di Kampung Kurkim Distrik Iwur tahun 2022.

“Tanah di kampung kami ini sangat subur. Masih banyak lahan kosong. Saya ingin tanam padi, panen dan jual. Sejak kecil memang saya punya cita-cita ingin jadi petani berdasi.”

SUARA LELAKI muda di seberang terdengar tak begitu jelas. Putus-putus. Telepon yang masuk dari saya beberapa kali diterimanya. Tapi suaranya timbul tenggelam. Hilang muncul. Barulah di kali ketujuh, deringan telp yang diangkatnya memantulkan suara yang jelas terdengar di depan gawai smartphone saya.

“Sinyal buruk kaka, di sini baru abis hujan. Saya kebetulan lagi di ladang,” jawab lelaki di seberang bernama Demianus Okesan itu.

Pada Jumat, 24 Maret 2023, ketika saya menelponnya, Demianus baru tiba di ladang padinya. Jaraknya hanya belasan meter dari rumah orang tuanya. Ia baru selesai makan siang. Seperti biasa, sejak jam enam pagi, ia sudah di ladang padi dan pulang petang hari.

“Bah, yakon (sahabat—Red) di ladang atau di sawah?”

“Bukan sawah yakon. Tapi di ladang ini. Jadi di Iwur, padi kami tanam di lahan kering,” tegasnya.

Saya mengenal Demianus awal pekan lalu, ketika berselancar di facebook dan tiba-tiba tertarik pada postinganya di salah satu grup Pegunungan Bintang. Ketika itu, Demianus membagikan aktivitas bongkar muat puluhan karung beras lokal dengan sebuah truk. Menarik.

Kelompo Petani Swadaya Tabi saat mendroping beras dari penggiling menuju gudang darurat di Kampung Kamnyoim, Distrik Iwur.

Musim panen baru saja tiba. Saatnya para petani ladang di Iwur mengurus panenannya untuk dijual. Demianus bersama belasan pemuda mengangkut beras yang sudah dikarungi itu dan menyimpannya di gudang darurat di Kampung Kamnyoim, Distrik Iwur, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan.

“Itu beras bersih, baru selesai digiling dan siap dijual. Tetapi karena karung beras yang saya pesan dari Surabaya belum tiba, untuk sementara kita pakai karung yang tulisan pakan ternak. Ada 10 ribu karung beras yang saya pesan. Lima ribu untuk ukuran 50 kg, dan lima ribu untuk ukuran 25 kg,” ujar Demianus.

Hamparan padi siap panen di Kampung Ngengenum, Distrik Iwur. Foto diambil tahin 2022.

Berkat kerja keras selama dua tahun menggarap 7 hektar padi ladang di Distrik Iwur, Demianus dan ratusan petani yang tergabung dalam wadah kelompok Petani Swadaya Tabi mampu menghasilkan 9 ton beras yang siap dijual. Semuanya masih tersimpan di gudang darurat di Kamnyoim.

“Namanya Beras Iwur. Saya lagi berusaha pasarkan di Oksibil dan Arso. Satu kilo Rp 40 ribu. Tapi jika nanti produksi makin banyak, harga pasti kita kasih turun sesuaikan pasaran. Hanya kami kesulitan di transportasi untuk angkut, tak punya mobil pick up,” tuturnya.

Bentuk Kelompok Tani

Tak banyak yang mengenal Demianus Okesan. Belum ada media yang menulis tentangnya. Tetapi lelaki muda kelahiran Kampung Kurumkim, Distrik Iwur, 4 Mei 1994 itu sudah membawa energi perubahan bagi tanah kelahirannya. Sebab berkat usaha yang dirintisnya, ratusan kepala keluarga di tiga kampung di Distrik Iwur, menggantungkan hidupnya sebagai petani padi. Ada Kampung Ngengenum, Kamnyoim, dan Kurumkim.

Demianus bersama kelompok Petani Swadaya Tabi saat membuka lahan baru.

Demianus lahir dari keluarga petani. Ayahnya, Korintus Okesan dan Ibu Kalorina Ondelka, adalah petani di Kurumkim yang sebelumnya pernah ikut menggarap padi bersama warga lain pada tahun 1990-an. Baca Juga: Cara Ampuh Menghilangkan Bekas Alergi di Wajah

Saat pulang ke Iwur tahun 2020 usai menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Bale Bandung (UNIBBA), Demianus tergerak hatinya manakala melihat nasib para petani di sana. Orang tua dan kerabatnya yang rata-rata petani padi ladang tak diperhatikan. Padi Jambe yang dulu jadi komoditas unggulan di kampung halamannya seketika hilang.

“Hampir lima tahun dari 2015-2020, masyarakat di sini tidak mau tanam padi lagi. Setelah saya telusuri, rupanya mereka kecewa karena ada oknum yang merugikan mereka terkait kerjasama dengan Dinas Pertanian Pegunungan Bintang saat itu,” tutur Demianus.

Salah seorang petani di Kampung Kurumkim saat panen padi.

Melihat kondisi ini, disertai niat untuk memberdayakan masyarakat, Demianus pun memotori bangkitnya kembali tradisi bertani padi ladang di Iwur. Ia mengajak sejumlah anak muda dan para orang tua di Kampung Nenginum, Kamyoiom, dan Krumkim. Ada beberapa nama tercatat di dalam buku anggota pertama. Di antaranya, Tadius Amnyol, Stanis Yell, Lonsea Okesan, Kalorina Ondelka, Veronika Okesan, dan Kukey Oropyana.

Mereka pun sepakat membentuk sebuah wadah yang diberi nama kelompok Petani Swadaya Tabi yang resmi berdiri pada 28 Juli 2021. Untuk program awal, setiap kampung membuka lahan masing-masing. Awalnya di tahun 2021 mereka memulai dengan 5 hektar, kemudian bertambah menjadi 7 hektar per tahun 2022.

“Nama Tabi ini kami ambil dari nama ubi jalar, makanan lokal kami di Iwur yang bentuknya agak panjang. Saya jadi pengawas kelompon tani ini dan Tadius Amnyol jadi ketua. Saya sudah kuliah dengan susah payah di tanah orang karena kurang biaya. Bahkan makan pun kadang sepiring dengan beberapa teman. Saatnya saya ingin bangun kampung lewat bertani biar ajak masyarakat mandiri pangan dan ekonomi,” kata lulusan SMKN 7 Skow-Jayapura 2014 ini.

Padi gogo varietas Jambe 1987 yang dihasilkan petani Iwur.

Letak Distrik Iwur berbatasan langsung dengan Kabupaten Boven Digoel dan lintasan perbatasan PNG. Terdapat 10 kampung di sini yakni Iwur, Kurumkim, Walapkubun, Dinmot Arim, Ewenkatop, Ulkubi, Dipol, Ngengenum, Narnger, dan Kamnyoim. Di bandingkan 33 distrik lainnya di Pegunungan Bintang, Iwur dan Batom memang memiliki topografi dataran rendah yang sangat luas. Sistem pertanian modern sudah mulai dikenal masyarakat setempat.

Demianus mengisahkan, tradisi bertani ladang di kalangan masyarakat Iwur dimulai ketika orang Belanda memperkenalkan padi gogo varietas Jambe pada tahun 1987. Saat itu, Pegunungan Bintang masih bergabung dengan Kabupaten Jayawijaya. Padi Jambe ini ditanam di ladang kering atau tidak memakai irigasi. Hasil panennya pun sangat bagus.

“Sayangnya, saat itu tak ada mesin giling. Untuk memisahkan beras dari gabah, orang tua kami dulu tumbuk pakai lesung. Jadi setelah panen, padi diikat dan digantung dalam rumah sampai kering baru ditumbuk,” kisah Demianus.

Bupati Pegunungan Bintang Spei Yan Bidana, ST,M.Si saat menyaksikan penggilingan padi dengan mesin peninggalan Belanda itu.

Melihat hasil panen yang semakin baik dari waktu ke waktu, pada tahun 1994, pemerintah daerah pun mendatangkan satu unit mesin giling padi dari Belanda untuk masyarakat Iwur. Mereknya Satake Kubota KND 180.

Namun sepanjang enam tahun, mesin giling ini tak banyak dipakai oleh para petani setempat. Mereka lebih memilih menggunakan lesung untuk menumbuk padi. Alasan lain, sebagian perangkat mesin itu sudah karat dan para petani tak mampu memperbaikinya.

“Mesin ini sempat rusak. Tahun 2021 saat kami bentuk kelompok tani Tabi dan mulai panen, kita coba pakai giling padi tapi tak bisa. Akhirnya saya belanja alat-alat mesin yang baru dan perbaiki. Puji Tuhan, bisa baik lagi. Saya keluarkan Rp 8,2 juta untuk beli alat,” urai Demianus.

Butuh Perhatian Pemerintah

Menurut Demianus, para petani yang tergabung dalam kelompok Petani Swadaya Tabi di Distrik Iwur kini mencapai 321 orang. Jumlah ini bertambah drastis hanya dalam setahun. Sebab saat dibentuk pada Juli 2021, hanya diikuti 47 orang anggota.

Para petani di Kampung Kamnyoim sedang mengerjakan proses perontokan padi yang baru dipanen.

Sepanjang 2021-2022, mereka telah menghasilkan sebanyak 9 ton beras dari 7 hektar ladang padi yang dibuka. Dalam setahun bisa dilakukan panen dua sampai tiga kali. Untuk meningkatkan produksi di tahun 2023, mereka kini memperluas ladang garapan hingga 10 hektar.

“Tapi sampai sekarang memang kami belum ada pemasukan karena beras belum terjual. Untuk operasional makan minum, saya yang tanggung. Sebagai kompensasi, saya bagi 5 kilogram beras per anggota setiap dua minggu sekali kepada para anggota untuk kebutuhannya,” tutur Demianus.

Pada September 2021, Bupati Pegunungan Bintang Spei Yan Bidana, ST,M.Si sempat mengunjungi kelompok Petani Swadaya Tabi di Iwur. Saat itu, Bupati Spei pun menggelar dialog dengan para petani dan ikut menyaksikan proses penggilangan padi dengan mesin Kubata peninggalan Belanda itu.

Bupati Spei saat dialog dengan kelompok Petani Swadaya Tabi di Iwur, September 2021.

Kesempatan itu tak disia-siakan Demianus. Ia banyak berdiskusi dengan orang nomor satu di Bumi Aplim Apom itu. Terutama, tentang ekonomi cerdas dan swasembada pangan di Pegunungan Bintang lewat produksi padi Iwur guna memenuhi kebutuhan pasar dan jatah PNS. Bupati Spei sangat setuju. Untuk mendukung Kelompok Tani Tabi, ia jugan menyerahkan bantuan sebesar Rp 120 juta.

“Saat itu saya sampaikan ke bapak bupati bahwa mimpi saya ialah meningkatkan produksi beras secara besar-besaran dan menguasai pasar di Oksibil. Bahkan, tahun 2025 kita tutup semua pasokan beras dari Jayapura dan Boven Digoel. Terutama, jatah beras PNS diambil dari kita,” urainya penuh semangat.

Mimpi besar Demianus sebenarnya didukung oleh Dinas Pertanian Kabupaten Pegunungan Bintang. Tak hanya mengirim Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) untuk pendampingan kepada petani, pada 23 Agustus 2021 pihak dinas juga menyerahkan 1 unit alat perontok padi merek Honda 45.

Salah seorang staf Dinas Pertanian Pegunungan Bintang menyerahkan mesin perontok padi kepada kelompok Petani Swadaya Tabi pada 23 Agustus 2021.

Yang lebih membesarkan asa dan tekad Demianus meraih mimpinya adalah rencana program perluasan lahan padi di Distrik Iwur yang didorong oleh Dinas Pertanian setempat. Bahkan, targetnya sampai 200-300 hektar dengan memanfaatkan tanah hibah.

“Saya bahkan sudah koordinasi dengan para orang tua, lembaga adat, dan kepala kampung untuk duduk diskusi. Semuanya sudah tanda tangan nyatakan setuju dan lepas tanah 10 ribu hektar buat kami dari Kelompok Tani Tabi kerjakan supaya kami tidak pindah-pindah. Tapi sampai hari ini, belum ada kabar lanjutan dari Dinas Pertanian,” tuturnya kecewa.

Demianus menilai, lahan kosong di Distrik Iwur yang masih amat luas sebenarnya sangat potensial bagi pengembangan pertanian padi. Tidak hanya untuk padi ladang, tetapi juga padi sawah. Sebab persediaan air sangat banyak untuk menopang irigasi ke sawah, baik yang bersumber dari Kali Iwur maupun dari sejumlah mata air kecil di beberapa tempat.

“Tinggal bangun irigasinya. Hanya memang kita tak ada alat traktor. Itu sangat kita butuhkan. Selain itu, traktor tangan, baja, kemudian alat-alat kerja ringan seperti sensor, parang, sekop, kapak, sabit, dan terpal sangat kami butuhan. Juga mobil pick up untuk kami angkut beras ke Oksibil untuk dijual. Kami sangat berharap ada perhatian pemerintah,” pinta Demianus.

Tak hanya itu, Demianus juga meminta perhatian pemerintah untuk membangun rumah sederhana atau mess bagi para petani. Hal ini pernah diusulkannya kepada Dinas PUPR namun belum direspon. Sementara demi kemandirian petani, Demianus berharap Petani Swadaya Tabi yang dirintisnya bisa didaftarkan dan masuk dalam kelompok tani binaan BUMN untuk mendapatkan bantuan rutin.

“Kalau untuk diri saya, saya hanya berharap Pemda Pegunungan Bintang bisa kontrak saya sebagai tenaga honor PPL. Biar saya bisa digaji. Sebab tugas saya sebagai pengawas dan pengarah bagi petani di Iwur ya seperti PPL,” tegas Demianus.

 

Demianus dengan hamparan ladang dengan padi yang sudah menguning siap dipanen. Foto diambil tahun 2022.

Hampir semua anggota kelompok Petani Swadaya Tabi di Iwur beragama Katolik. Sebagai bentuk syukuran, Demianus mengaku telah membuat tradisi rutin dengan menggelar ibadah syukuran di setiap musim tanam dan panen. Baginya, hubungan manusia, alam semesta dan Tuhan harus selaras agar hasil panen bisa berlimpah.

Di akhir obrolan kami sejam lebih lewat telepon, Demianus berpesan kepada para pemuda, mahasiswa atau sarjana di Papua, terutama di Pegunungan Bintang untuk tidak melulu berorientasi menjadi PNS dan terjun di dunia politik. Sebab sektor pertanian sebenarnya sangat menjanjikan ekonomi masa depan, asal ada kemauan dan tekad yang kuat.

“Tanah di kampung kami ini sangat subur. Masih banyak lahan kosong. Saya ingin tanam padi, panen dan jual. Sejak kecil memang saya punya cita-cita ingin jadi petani berdasi. Saya hanya minta, pemerintah perhatikan dengan dana dan alat-alat pertanian agar kami makin produktif ke depan,” tutup Demianus. (Gusty Masan Raya)

Facebook Comments Box