JAYAPURA (PB.COM)—Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) Menuel John Magal, SE,S.Th menyayangkan sikap PT. Freeport Indonesia (PTFI) yang telah melaksanakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tanpa melibatkan langsung masyarakat Amungme dalam proses pengambilan keputusan terkait proyek AMDAL tersebut.
“PTFI harus menyadari bahwa AMDAL bukan hanya suatu kewajiban hukum, melainkan juga sebuah komitmen untuk menghormati dan memahami warisan budaya setempat. Mengabaikan peran krusial masyarakat dalam proses AMDAL berpotensi merusak hubungan antara perusahaan dan komunitas, bahkan dapat memicu konflik sosial yang merugikan kedua belah pihak,” kata John Magal sebagaimana rilis yang diterima redaksi papuabangkit.com, Selasa, 30 Januari 2024.
Menurut John, penerapan proses AMDAL yang holistik dan inklusif menjadi poin kunci paling penting dalam memastikan keberlanjutan hubungan antara PTFI dan suku Amungme. Dialog terbuka, transparan, dan keterlibatan masyarakat harus menjadi prinsip utama dalam proses ini, bukan hanya sebagai langkah teknis, melainkan sebagai investasi dalam hubungan jangka panjang dengan masyarakat setempat.
“Langkah selanjutnya yang harus diambil oleh PT. Freeport Indonesia adalah memperbaiki komunikasi terbuka dengan suku Amungme, menghormati tradisi musyawarah yang kuat dalam pengambilan keputusan. Komunikasi yang baik dan penghargaan terhadap budaya Amungme bukan hanya merupakan kunci untuk mencapai keseimbangan yang adil, tetapi juga untuk menciptakan situasi yang saling menguntungkan,” tulisnya.
John menegaskan, ketidakpahaman PTFI terhadap tradisi suku Amungme, terutama terkait dorongan terhadap perubahan Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) menjadi Perkumpulan Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (PeLEMASA), dapat dianggap sebagai tindakan yang merugikan budaya dan tradisi Amungme. PTFI perlu memahami dan menghargai nilai-nilai lokal ini sebagai bagian integral dari keberlanjutan proyek dan hubungan dengan masyarakat Amungme.
“PTFI harus memandang keterlibatan masyarakat Amungme sebagai unsur krusial dalam proses AMDAL, dengan memprioritaskan dialog terbuka dan transparan, serta menghormati nilai-nilai budaya setempat. Hanya melalui pendekatan yang inklusif dan pemahaman mendalam terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal, PTFI dapat membangun hubungan yang harmonis dan berkelanjutan, menjadikan keberlanjutan proyek dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan bersama,” tegasnya.
Tulis Surat Ke Presiden
Menyikapi tidak adanya pelibatan masyarakat Amungme sebagai pemilik hak ulayat dalam proses AMDAL oleh perusahaan tambang raksasa dunia itu, Ketua LEMASA John Magal pun mengambil langkah tegas dengan menulis surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo.
Adapun petikan isi surat tertanggal 24 Januari 2024 yang diberi judul “Pemilik Hak Ulayat Konsesi PTFI Minta Keadilan Kepada Presiden Republik Indonesia” sebagaian termuat di berikut ini:
Yang Mulia Bapak Presiden Republik Indonesia,
Dengan penuh hormat, saya, selaku Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA), ingin menyampaikan aspirasi dari masyarakat Adat Suku Amungme, terutama yang berada di Kawasan Nemangkawi, khususnya di tiga lembah, yaitu Waa, Tsinga, dan Arwanop. Kami yang merasakan dampak langsung dari operasional PT. Freeport Indonesia, merasa perlu untuk mengungkapkan rasa ketidakadilan, penipuan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan yang kami alami.
Sejak PT Freeport Indonesia memasuki wilayah adat kami melalui Kontrak Karya Pertama (KK-I) yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan PTFI pada tanggal 7 April 1967, berdasarkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), tanah keramat kami telah dihancurkan, sungai kami tercemar, dan gunung keramat/suci kami sangat kami agungkan sebagai bagian integral dari lingkungan hidup dan sosial kami telah mengalami kerusakan yang tidak terampuni. Kerusakan, yang dimulai dari puncak tertinggi hingga ke laut, telah menyebabkan dampak besar pada lingkungan hidup kamj sebagai akibat dari kegiatan pertambangan tersebut.
Sejak kehadiran PT Freeport Indonesia (PTFI) di tanah adat kami, kehidupan kami mengalami dampak yang signifikan, dengan disertai rasa ketidakadilan yang mendalam. Mulai dari Kontrak Karya Pertama (KK-I) pada tahun 1967, Kontrak Karya Kedua (KK-II) pada tahun 1991, hingga perubahan status Kontrak Karya menjadi lzin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada tahun 2018; seiring dengan itu, terdapat divestasi saham sebesar 5l%, menjadikan Pemerintah Indonesia sebagai pemegang mayoritas saham, namun implikasinya terhadap keadilan dan kesejahteraan masyarakat tetap sangat memperihatinkan.
Sejak tabun 2018 hingga 2021, PT. Freeport Indonesia telah melaksanakan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tanpa mengikutsertakan partisipasi dari masyarakat yang terdampak secara langsung Kegiatan PTFI. Pihak manajemen PTFI memilib untuk berinteraksi dengan kelompok masyarakat yang bersikap mendukung terhadap keberlanjutan bisnis mereka, namun kelompok tersebut tidak mewakili secara menyeluruh seluruh lapisan masyarakat yang terkena dampak langsung.
Keputusan ini memunculkan pertanyaan terkait inklusivitas dan representativitas proses AMDAL, yang seharusnya mencakup berbagai perspektif dan kepentingan masyarakat yang terlibat. Pentingnya melibatkan semua pihak yang terkena dampak secara langsung dalam proses konsultasi AMDAL menjadi krusial guna memastikan validitas dan integritas analisis dampak lingkungan yang dilakuk:an oleh PT. Freeport Indonesia.
Bapak Presideo Republik Indonesia yang kami hormati,
Perlu diperhatikan bahwa sejak awal perusahaan ini hadir di tanah adat kami, hak-hak dasar masyarakat adat telah diabaikan. Setiap momen bersejarah, seperti Kontrak Karya Pertama (KK-I) tahun 1967, Kontrak Karya Kedua (KK-II) tahun 1991, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tahun 2018, divestasi saham sebesar 51%, perpanjangan kontrak dari tahun 2018 hingga 2041 yang kemudian diperpanjang hlngga 2061, serta proses·Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak pemah melibatkan masyarakat adat pemihk hak ulayat dan pernilik Gunung suci.
Bapak Presiden yang kami muliakan,
Masyarakat adat suku Amungme, ingin menyampaikan bahwa kami secara langsung merasakan dampak dari kegiatan penambangan PTFI di Gunung suci kami “Nemangkawi”. Bapak Presiden,jangan lupa, kami adalah pemilik modal berupa tanah, Gunung, serta segala aspek alam yang meliputi sungai, hutan, dan tanah adat-baik yang memiliki kehidupan maupun yang tidak. Hal ini mencakup wilayah di atas pennukaan bumi dan di dalam bumi.
Sementara itu, Pemerintah Indonesia dan PTFI memiliki modal berupa uang, tenaga kerja, dan teknologi. Kami menyadari bahwa keberlanjutan kegiatan ekonomi adalah suatu keharusan, namun kami berharap juga agar pihak terkait dapat mempertimbangkan dampak yang kami alami sebagai pemilik adat. Kami sangat menghargai upaya pemerintah dalam pengembangan ekonomi.
Maka, dengan mengacu pada tinjauan di atas, karni mengajukan permohonan kepada Yang Mulia Presiden Republik Indonesia untuk menerima dan menanggapi dengan seadil-adilnya terkait kerugian yang karni alarni. Berikut adalah rincian permohonan yang kami sampaikan:
Pertama, Kami rnohon Bapak Presiden turut carnpur tangan dalam proses AMDAL PT. Freeport Indonesia untuk memastikan pembahasan ulang yang transparan dan melibatkan langsung masyarakat terdampak. Langkah ini bertujuan untuk mengakomodasi kepentingan mereka secara terbuka dan jelas serta berorientasi masa depan.
Kedua, Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, pertimbangan huruf a bahwa dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar Orang Asli Papua, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, perlu diberi kepastian hukum. Pasal 1 ayat (2) Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak dasar masyarakat Papua.
Keberadaan PT. Freeport Indonesia di atas tanah adat kami, keterampilan dia dan izin yang berikan adalah untuk menambang, oleh karena itu sebagai bagian dari afirmasi dalam bidang ekonomi dan sosial budaya, maka, kami mendorong aspirasi urusan Departemen Sosial PTFI diserahkan kepada Pemilik Hak Ulayat yang terdampak langsung.
Ketiga, Sejak awal tanah Adat dan Gunung Keramat Amungme menopang Ekonomi Nasional dan setelah negara mengambil alih 51% sahan PTFI, mendapatkan keuntungan bagi negara sangat besar, oleh karena itu, berdasarkan UU Otsus dan hukum adat suku Amungme di mana hasil berburuh dari dusun orang lain hasilnya harus dibagi sama pemilik dusun, maka, demi keadilan kami minta Bapak Presiden mempertimbangkan berapa persen untuk pemilik hak ulayat dalam.persentase tertentu dengan regulasi yang berpihak pada masyarakat pemegang hak ulayat.
Demikian surat terbuka ini kami buat dan disampaikan kepada Bapak Presiden RI dan mohon diberikan perhatian. (Gusty Masan Raya/Rilis)