SALATIGA (PB.COM)—Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik berkolaborasi dengan berbagai organisasi mahasiswa Papua Se-Jawa Bali dan Sumatra, yakni HIPMAPA Salatiga, IPMAPA Yogyakarta, HIPMAPAS Semarang, KOMPASS Se-Sumatra, IMMAPA Bali, IMAPA Se-Jabodetabek beserta BEM FEB Uncen menyelenggarakan Webinar dengan tema Hak Politik Orang Asli Papua Pileg 2024 Aman Ka?

Dalam giat yang digelar secara online ini, sejumlah tokoh menyoroti sistem Pemilihan Legislatif dan perilaku politik yang tidak menguntungkan Orang Asli Papua (OAP), serta belum adanya regulasi yang memproteksi hak politik caleg OAP.

Tokoh Papua selaku Tim Penasihat Senior Kantor Staf Presiden (KSP) Republik Indonesia Manuel Kaisiepo, S.IP.,MH dalam webinar tersebut mengatakan penyelenggaraan pemilu di Papua  buruk karena tidak terpisahkan dari design politik dan tata negara di Indonesia yang berubah sejak reformasi, dimana dari sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka.

“Indonesia menganut sistem demokrasi liberal, sehingga menjadi individual right, disini tentu memungkinkan politik transaksional yang kemudian menghasikan the winners take its all,” katanya.

Dalam demokrasi liberal dengan sistem proporsional terbuka, kata Manuel, hanya mereka yang punya duit yang menang. Sistem politik elektoral untuk menaikkan elektalibilitasnya dan popularitas sangat tergantung berapa uang yang dimiliki. Berbeda dengan politik representatif, ini yang menjadi persoalan kita di Indonesia.

Pernyataan Manuel diakui salah seorang peserta Pemilihan Legislatif 2024 Otis Tabuni, SH,MH. Menurut Otis, tidak ada regulasi yang secara tegas memproteksi hak politik orang asli Papua sehingga caleg Non OAP yang punya kekuatan ekonomi dan kekuasaan menguasai semua kursi legislatif.

“Pemilu 2024 ini sesungguhnya menguji UU Otsus Jilid II yang baru disahkan 2021 bahwa ternyata orang asli Papua masih hidup dalam kepalsuan,” tuturnya.

Frederika Korain, SH, MAAPD selaku Lawyer & Human Rights’ Advocate mengungkapkan fakta riil bahwa hak politik perempuan Papua jauh lebih buruk dari laki-laki. Caleg perempuan selama ini hanya sekeder memenuhi syarat 30%. Hak tersebut menunjukkan Perempuan Papua hanya bunga-bunga politik.  Perempuan yang tidak punya modal dan kuasa mudah sekali dijadikan objek.

“Untuk hal ini, tidak pernah terlihat satu pun tokoh elit di Papua mendorong perempuan mendapatkan hak-hak politiknya. Pemilu di Papua sebagian elit berubah jadi monster dan mengacaukan Papua menjadi semakin buruk,” tegasnya.

Dampak Buruk DOB

Dr. I Ngurah Suryawan, M.Si. Dosen dan Peneliti di Papua Center LPPSP FISIP Universitas Indonesia dalam paparannya terkait Dampak Pemekaran Terhadap Hak Politik Orang Asli Papua mengatakan pemekaran merupakan bagian dari desain Jakarta memperluas ruang-ruang politik bagi orang asli Papua agar mudah dikontrol dari Jakarta.

Menurutnya, pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) yang kini menjadi enam provinsi sebenarnya suatu jebakan sistematis dari Negara agar orang Papua sibuk dengan tawaran kekuasan dan uang dari Jakarta, lalu melupakan segala persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat akar rumput.

“Baik itu persoalan kedaulatan diri, kemandirian diri, kebebesan berekspresi dan pemenuhan hak-hak dasar seperti akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas,” tuturnya.

John NR Gobay selaku Ketua Poksus DPRP Provinsi Papua mengatakan situasi ekonomi kita menentukan kekuasaan dalam politik. Masyarakat yang ekonominya lemah rawan terjadi manipuasi. Hal itu yang menimpah OAP saat ini, dimana rata-rata para caleg kurang modal sehingga suaranya mudah dimanipulasi dan perjual-belikan.

Oleh karena itu, anggota DPR Papua John NR Gobay menyarankan, harus ada payung hukum untuk proteksi hak politik masih lemah sehingga perlu ada singkronisasi UU Otsus dengan UU Partai Politik, UU Pemilu, PKPU dan beberapa regulasi terkait.

“Saya mengajak semua tokoh Papua kompak menciptakan bargaining politic agar memperoleh kompromi politik dengan Jakarta. Untung masih ada sistem noken sehingga orang asli Papua masih ada muka, kalau tidak semua hak-hak politik ribut olah non OAP,” tegas John.

Sementara itu, Ahli Demografi Politik Pertama Indonesia Dr. Riwanto Tirto Sudarmo menyoroti adanya dampak perkembangan demografi terhadap hak-hak politik Orang Asli Papua. Menurutnya, perubahan demografi di Papua tidak terlepas dari politik. Demografi dan politik berpengaruh saling timbal  balik. Akibat dari itu timbul istilah Orang Asli Papua dan Non-OAP atau nusantara.

“Di negara ini, hanya orang Papua yang melawan Indonesia karena berbagai problematika pembangunan yang belum diselesaikan sejak Papua bergabung dengan Indonesia sejak tahun 1960-an hingga sekarang,” tuturnya.

Riwanto menyarankan agar negara harus serius melihat persoalan sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi masyarakat Papua saat ini.  Ia menegaskan bahwa politik resistensi di Papua sebagai ekspresi pertahanan untuk menjaga harga diri dan menunjung martabat kemanusiaan. (GMR/Rilis)

Facebook Comments Box