Presiden Jokowi menyalami Gubernur Papua Lukas Enembe.

*Oleh:  Velix Wanggai

Mengelola Papua memang tidaklah mudah.  Dengan konteks yang spesifik dan yang bersifat multidimensi, tentu saja dibutuhkan panjang sabar di dalam menyentuh penduduk Papua, khususnya Orang Asli Papua. Namun, langkah-langkah Negara harus terus dilakukan di tengah-tengah lingkungan strategis, baik internasional, nasional dan regional yang berkembang sangat dinamis.

Dari lintasan sejarah pembangunan nasional, setiap Presiden Republik Indonesia, sejak Presiden Sukarno hingga Presiden Joko Widodo, dihadapkan dengan agenda mengelola Papua, dengan semua kelebihan dan keterbatasannya.

Walaupun pilihan kebijakan (policy choices) dan gaya kepemimpinan  (presidential leadership style) yang berbeda satu sama lain, namun kesemua pemimpin nasional memiliki komitmen dasar untuk mewujudkan janji Kemerdekaan 1945 ke seluruh pelosok Tanah Air.

Sentuhan Presiden Jokowi

Begitu pula yang dilakukan oleh Presiden Jokowi di dalam mengelola Papua. Komunikasi publik Presiden Jokowi yang langsung ke bersentuhan dengan rakyat Papua membawa pesan positif. Bagi internal Kementerian/Lembaga, dituntut untuk lebih serius di dalam menerjemahkan berbagai sentuhan kebijakan yang telah diletakkan oleh Presiden Jokowi dalam 3 tahun terakhir ini.

Sentuhan pertama, adalah Presiden Jokowi mengakomodasi pendekatan pembangunan berbasis konsep wilayah adat, yakni  adat Saereri, Anim-ha, Mee Pago, Laa Pago, dan Mamta) ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 – 2019. Perubahan pola pembangunan tersebut dinyatakan di dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015. Perubahan pendekatan yang berbasis sosiologis-antropologis ke dalam perencanaan yang teknokratis ini sejalan dengan ide dasar dari Gubernur Papua Lukas Enembe yang sedang menata kembali pembangunan regional Papua.

Untuk itu, dalam konteks pelaksanaan kebijakan (policy implementation),  pendekatan 5 wilayah adat tersebut haruslah diterjemahkan oleh para Menteri, Dirjen, Deputi dan jajaran eksekutif lainnya di Kementerian/Lembaga untuk mendesain lebih teknis, baik dari sisi rumusan kebijakan sektoral dan regional, pola pendekatan program dan proyek, serta formulasi anggaran khusus untuk Tanah Papua, sehingga sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik wilayah adat.

Sentuhan Kedua, adalah Presiden Joko Widodo mendekati Tanah Papua dengan mendorong pendekatan kewilayahan (regional approach).  Pilihan strategi ini tentu saja telah mempertimbangkan berbagai aspek, seperti wilayah Tanah Papua yang luas, penduduk yang tersebar tidak merata, serta potensi sumber daya alam yang bernilai strategis.  Untuk itu, pendekatan kluster atau koridor kewilayahan dengan dukungan konektivitas antarwilayah merupakan pilihan kebijakan yang tepat.

Saat ini Pemerintah telah menetapkan Kawasan Industri Bintuni, Kawasan Industri Timika, Kawasan Sentra Pangan Merauke (KEK Merauke), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong maupun kawasan potensial lainnya.  Secara khusus,  pada tanggal 1 Agustus 2016 Presiden Joko Widodo mensahkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2016 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong. Dengan kerangka KEK ini, Pemerintah menerapkan sejumlah insentif fiskal dan non-fiskal untuk percepatan investasi di KEK Sorong.  Bersamaan dengan kebijakan kewilayahan ini, dalam tahun 2014 – 2019 ini, Pemerintah menaruh perhatian 25 Kabupaten Tertinggal di Papua dan 7 Kabupaten Tertinggal di Papua Barat. Dengan demikian, strategi kewilayahan ini mengaitkan antara kawasan strategis secara ekonomis dan kawasan tertinggal di berbagai daerah di Tanah Papua.

Sentuhan ketiga, sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan atas pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua, perhatian Presiden Joko Widodo tertuju ke upaya re-negosiasi kontrak karya PT. Freeport Indonesia.  Sekali dalam sebuah kesempatan Presiden Jokowi pernah berpesan, “Kedaulatan Indonesia harus dijaga dalam proses negosiasi dengan Freeport Indonesia” (www.detik.com, 4/9/2017). Kita semua menyadari  kepentingan Amerika Serikat sangat tinggi atas Freeport Indonesia dan kehadirannya di Papua juga tidak hanya sekedar ékonomi semata, namun juga terkait dengan perjalanan sejarah integrasi Papua dalam geopolitik dunia.

Fondasi renegosiasi atas Freeport Indonesia telah diletakkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana terbitnya Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 tentang Tim Evaluasi untuk Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. Dari 17 poin yang diminta oleh Gubernur Papua Lukas Enembe di tahun 2013, akhirnya difokuskan ke 6 agenda renegosiasi.

Kini,  ada sebuah kemajuan yang berarti telah dicapai di era Presiden Jokowi, sebagaimana apa yang diungkapkan oieh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Ignasius Jonan pada 29 Agustus 2017.  Ada kesepakatan yang dicapai, yakni Freeport Indonesia sepakat untuk melakukan divestasi 51 % saham ke Pemerintah Indonesia, Freeport berkomitmen untuk membangun smelter dalam 5 tahun sampai Januari 2022, perubahan kontrak karya menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), maupun Freeport Indonesia sepakat menjaga besar penerimaan negara yang lebih baik dibandingkan di era rezim kontrak karya.

Sentuhan keempat, yakni merumuskan strategi percepatan pembangunan yang menyeluruh untuk Tanah Papua. Langkah-langkah percepatan pembangunan ini diwujudkan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 11 Desember 2017 dengan  menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2017 perihal Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.  Inpres 9/2017 ini difokuskan ke sektor kesehatan dan pendidikan, pengembangan ekonomi lokal, infrastruktur dasar, infrastruktur digital, serta konektivitas.

Adapun dalam pelaksanaannya, Pemerintah akan menerapkan pendekatan pembangunan berbasis budaya, wilayah adat, dan fokus ke Orang Asli Papua, serta pendekatan dialog dengan semua komponen masyarakat Papua. Demikian pula, dengan konsentrasi angka kemiskinan yang berada di wilayah pedalaman dan pegunungan yang sulit, tampaknya Inpres 9/2017 ini juga menerapkan fokus di kampung-kampung di wilayah terdepan (perbatasan), terpencil, dan tertinggal, utamanya di daerah pedalaman dan pegunungan yang sulit dijangkau.

Sentuhan kelima, Presiden Jokowi terlihat serius dalam mendukung Gubernur Lukas Enembe yang saat ini sedang mempersiapkan Papua sebagai Tuan Rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) Tahun 2020. Hal itu tercermin dari terbitnya  Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2017 tentang Dukungan Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional XX dan Pekan Paralimpik Nasional XVI Tahun 2020 di Provinsi Papua.  Dalam Sidang Kabinet pada tanggal 19 Juli 2017 lalu, Presiden Jokowi menegaskan perlunya payung hukum guna mempercepat pembangunan berbagai sarana dan prasarana PON 2020. Setelah proses pembahasan sejak akhir Juli 2019, akhirnya Presiden Jokowi menandatangani  Inpres  10/2017 tersebut pada tanggal 18 Desember 2017.

Dalam pandangan Presiden Jokowi,  bahwa “Proyek pembangunan venue PON di Papua memiliki arti yang sangat penting. Bukan saja keolahragaan Papua, tapi juga Indonesia”. Hal itu dijelaskan Presiden Jokowi ketika meletakkan batu pertama pembangunan stadion utama di Kampung Harapan, Jayapura, pada 9 Mei 2015 lalu.  Pandangan Presiden ini sejalan  harapan dari Gubernur Lukas Enembe, yang melihat PON 2020 di Papua sebagai instrumen percepatan pembangunan Papua dan sebagai pendekatan pembangunan identitas dan kebanggaan rakyat Papua. Olahraga, identitas dan semangat persatuan dan kesatuan diletakkan dalam satu tarikan langkah.

Tantangan Yang Tak Ringan

Kita semua menyadari bahwa agenda Papua bersifat multi-dimensi dan kompleks. Mengelola Papua memerlukan pendekatan yang holistik guna secara mendasar menyentuh akar persoalan yang dihadapi. Apalagi saat ini komunitas dunia  menyoroti dinamika Papua dari hari ke hari. Sejumlah isu seperti Hak Asasi Manusia,  isu “slow motion genocide”, isu referendum, maupun isu Dialog Internasional, menjadi agenda yang diangkat oleh berbagai komunitas. Situasi geo-politik dunia dan regional yang memberikan ruang bagi mekarnya internasionalisasi isu Papua, menjadi tantangan yang perlu mendapatkan perhatian intens Negara.

Saat ini pula, Negara (Eksekutif, DPR dan DPD RI) dihadapkan dengan tuntutan revisi UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (dan Papua Barat).    Pihak DPR telah memasukkannya dalam daftar Prolegnas 2015 – 2019, yang disebut RUU Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua. Bagi internal Pemerintah, dibutuhkan kajian yang mendalam untuk menghadapi aspirasi yang berkembang ini.

Tahun 2018 – 2019 merupakan tahun politik. Pilkada serentak di Tanah Papua dilihat sebagai tantangan politik lokal yang perlu dikelola dengan tepat.  Sejumlah Pilkada yang dilakukan beberapa saat lalu telah menimbulkan korban jiwa di beberapa daerah.  Relasi sosial tingkat lokal yang rusak akan berakibat terhadap efektifitas pelayanan pembangunan regional Papua.

Akhirnya kita patut bersyukur, sentuhan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dan jajaran pemerintahan, dengan segala kelebihan dan keterbatasannya,  merupakan wujud hadirnya Negara di tengah-tengah rakyat Papua.  Langkah setapak demi setapak guna memekarkan kepercayaan rakyat Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jakarta, 31 Desember 2017

*Penulis adalah pemerhati pembangunan Papua

Facebook Comments Box