JAYAPURA (PB.COM)—Nasib ekonomi ribuan nelayan tradisional di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua, kini sedang dalam ancaman serius. Mata pencaharian yang mereka geluti secara turun temurun ini setahun belakangan terganggu dengan hadirnya ratusan kapal jaring berukuran besar yang beroperasi melewati zona tangkapan mereka.
Dalam pertemuan antara Komunitas Nelayan Tradisional Biak Numfor dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Biak Numfor, DKP Provinsi Papua, Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Biak dan Jayapura, dan pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan di Gedung Pelelangan Ikan, komples Pasar Ikan Biak, Sabtu, 20 Januari 2024, sejumlah nelayan menyampaikan aneka persoalan dan keluhan.
“Ada dua persoalan serius yang sedang kami hadapi dan mengancam nasib kami, para nelayan tradisional Asli Papua di Biak Numfor. Pertama, kapal-kapal besar yang dari Jakarta ini beroperasi melewati batas kami, masuk ke zona 0-12 mil laut. Harusnya mereka itu di mil 13 keluar. Kedua, hasil tangkapan kapal-kapal besar ini dijual juga ke Pasar Biak, rumah makan, dan hotel. Jadi yang kami punya tidak laku,” kata Alexius Faidiban Ketua Kelompok Nelayan dari Distrk Biak Timur.
Menurut Alexius, setahun belakangan, hasil tangkapan ikan dari para nelayan tradisional di Biak Numfor menurun drastis. Dengan jumlah hasil tangkapan yang minim itu, pasar yang kini dikuasai oleh para nelayan kapal besar dari luar Biak itu, membuat pendapatan mereka tidak menentu.
“Kapal-kapal yang seharusnya mencari di 13 mil laut ke dalam melanggar aturan, masih melaut di wilayah 0-12 mil, menyerobot wilayah kami. Ini saya dapati sendiri. Jadinya hasil tangkapan kami sangat susah. Sudah gitu, harga jadi tidak stabil di pasar karena mereka kuasai. Akhirnya kita jual murah di pengepul yang punya cold storage dan hasilnya tidak mencukupi biaya operasional yang kita keluarkan. Pemerintah tolong memberi solusi. Tertibkan dan pulangkan kapal-kapal jaring itu,” tegas Alexius.
Yohanes Auparay, salah satu nelayan tradisional asli Biak Numfor yang menggantungkan hidupnya sebagai nelayan mengatakan, pertemuan yang digelar ini belum menghasilkan solusi apapun dari pihak pemerintah terkait keluhan mereka. Namun suka tidak suka, mereka harus tetap melaut untuk memenuhi kebutuhan setiap hari.
“Sementara modal yang harus kami keluarkan untuk melaut semakin besar. Biaya operasional yang dahulu cuma Rp 1,5 juta, kini sampai Rp 4 juta karena harga bahan bakar naik. Kami nelayan ini sangat resah dengan keberadaan ratusan kapal jaring yang masuk di Biak Numfor. Kami minta kepada Presiden RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Biak Numfor dan Provinsi Papua, solusinya cuma satu: pulangkan kapal-kapal itu ke tempat asalnya. Kalau tidak kami akan ambil sikap tegas,” kata Yohanes.
Dampak dari berkurangnya hasil tangkapan ikan nelayan tradisional diakui Evy Womsiwor, salah satu istri nelayan tradisioal di Biak Numfor. Mewakili istri dari ribuan nelayan wilayah itu, Evy mengeluh tentang sulitnya menjual hasil tangkapan suaminya di pasar. Padahal, dari hasil itu, akan digunakan untuk makan minum dan menyekolahkan anak-anaknya.
“Terkadang sampai malam, ikan kami tidak ada yang laku. Karena terlalu banyak kapal yang masuk sehingga ikan jadi berlimpah. Masih ada kapal yang diduga dengan sengaja menjual ikan di Pasar Biak. Jika ini tidak ada solusi, baiknya kapal-kapal yang ada di laut dipulangkan saja ke daerah asalnya. Jika tidak, kami istri nelayan tradisional Asli Papua akan mengambil sikap tegas,” katanya.
Pulangkan Kapal Jaring
Ancaman bagi ekonomi para nelayan tradisional Asli Papua di Biak Numfor jangan dianggap sepeleh. Sebab ribuan orang menggantung hidupnya dari tradisi melaut sebagai warisan nenek moyang mereka. Sejak dulu, laut adalah ibu dan sumber kehidupan utama masyarakat di Teluk Cenderawasih, Papua.
Nelayan muda Biak Numfor, John Rumbiak berpendapat, seperti Aceh dan Yogyakarta, di Papua saat ini diberlakukan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) No 2 Tahun 2021. Oleh karena itu, seharusnya payung hukum ini ikut melindungi hak-hak dan kesejahtraan ekonomi masyarakat adat Asli Papua, termasuk para nelayan di Biak Numfor.
“Saya mau bilang, saat ini, investasi di bidang kelautan dan perikanan yang masuk ke Biak Numfor hanya dinikmati segelintir oknum tertentu saja. Sedangkan kami masyarakat adat Asli Papua yang hidup sebagai nelayan tradisional, hanya sebagai penonton dan tidak menikmati hasil apapun. Kita butuh ada aturan berupa Perdasus yang tegas yang bisa melindungi kami, para nelayan asli Biak Numfor,” tegas John Rumbiak.
Menurutnya, berdasarkan Pasal 3 poin a-c Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas dijelaskan bahwa Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a terdiri atas Jalur Penangkapan Ikan IA meliputi perairan sampai dengan 2 (dua) mil laut diukur dari garis pantai ke arah luar ke Laut Lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan Jalur Penangkapan Ikan IB meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan IA sampai dengan 4 (empat) mil laut.
“Sementara Jalur Penangkapan Ikan II meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut, dan Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan I dan Jalur Penangkapan Ikan II, termasuk zona ekonomi eksklusif Indonesia. Jadi jelas, kapal-kapal jaring yang dari Jakarta ini sudah melanggar masuk wilayah tangkapan kami,” tegasnya.
Oleh karena itu, John Rumbiak meminta, masalah ini segera diselesaikan oleh pemerintah. Jika belum ada solusi penyelesaiannya, kapal-kapal jaring ini harus dikembalikan ke wilayah asalnya, sampai ada pembicaraan dan kesepakatan yang jelas dengan nelayan tradisional di Biak Numfor.
Persoalan ini pun mendapat perhatian serius Ketua Dewan Adat Byak, Yan Piter Yarangga. Kepada media, ia menyayangkan sikap Pemerintah Daerah melalui instansi teknis, baik DKP Biak Numfor maupuan DKP Provinsi Papua yang belum memberi solusi apapun terkait persoalan yang dihadapi masyarakat adatnya.
“Sudah dua kali pertemuan antara Komunitas Nelayan Tradisional dan pemerintah dan saya ikuti. Saya belum melihat ada solusi dari pemerintah. Dalam pertemuan terakhir Sabtu lalu, saya mengusulkan agar pemerintah harus segera menarik dulu kapal-kapal jaring ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi saya selalu tenangkan masyarakat, kalian sabar, kita tunggu setelah Pemilihan Legislatif baru kita selesaikan masalah ini,” kata Yan, Rabu, 24 Januari 2024.
Apalagi, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, Perairan Teluk Cenderawasih termasuk Perairan Biak masuk dalam Zona 02 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 716 Penangkapan Ikan Terukur yang juga harus dijaga dan dibudidayakan kelestariannya.
“Saya menduga, ada illegal fishing dari beroperasinya kapal-kapal jarring ini. Dan saya juga menduga, kapal-kapal ini ada backingan dari pemerintah daerah dimana surat-surat izinnya dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Atas nama Ketua Dewan Adat Byak, saya minta ini harus ditertibkan karena sangat mengganggu hasil tangkapan nelayan tradisional. Kasihan nelayan asli Papua,” tegas Yarangga.
Sekedar diketahui, potensi perikanan di Teluk Cendrawasih ini, khususnya ikan tuna jenis yellow fins sangat tingggi. Bahkan produksinya mencapai 1,1 juta ton setahun. Pemeritah Daerah Kabupaten Biak Numfor mengklaim, di tahun 2023 pihaknya mampu mengekspor antara 600 ribu ton sampai 800 ribu ton ikan tuna per tahun, dan bisa menghasilkan devisa senilai Rp 17 triliun. Potensi ikan inilah yang memicu banyaknya berdatangan kapal-kapal dari luar Papua untuk menangkap ikan di peraiaran Biak Numfor. (Gusty Masan Raya)